Surat
Hijau
“Huh!”
Amplop
ini lagi. Dengan warna yang sama, ukuran yang sama, dan bisa ku pastikan dengan
isi yang tak jauh berbeda.
“Kau pasti tahu
indahnya bulan purnama. Namun indahnya bulan tidak bisa dan tidak akan mungkin
bisa melebihi keindahanmu…”
Hanya
satu bait puisi rayuan. Setiap isinya pasti seperti itu. Tidak tertera nama
pengirimnya. Dan selalu stand by di
laci meja setiap kali aku datang. Misterius. Sekaligus konyol. Aku punya
pengagum rahasia.
Aku
masih celingak-celinguk ke sekeliling kelas, mencari kurir cinta itu. Tapi mana
mungkin aku bisa menemukannya, kalau aku tidak tahu orangnya. Namanya pun
tidak. Sudah bisa dipastikan kalau hasilnya nihil.
“Surat
itu lagi?” Tanya Resa, teman sebangkuku yang selalu mendengar curhatku tentang
surat ini.
“Hu’um,”
masih dengan bibir angsa.
ZZZ
1,
2, 3, dan 4, sudah 4 surat yang aku terima dalam satu minggu ini. Semua ku kumpulkan
di dalam saku tasku. Surat-surat itu sengaja tidak aku lenyapkan, sayang. Bukan
karena aku suka isinya yang romantis, tapi karena aku suka warna dari amplopnya
yang hijau. Aku suka hijau.
Entah
karena kebetulan atau si pengirim juga mengetahui kalau aku menyukai warna
hijau. Aku tidak terlalu ambil pusing soal itu. Yang terpenting, aku suka.
“Na,
ada titipan, nih,” Adit menghalangi jalanku sambil membawa surat hijau itu.
Surat ke 5 ku.
“Dari
siapa?” pertanyaanku mengambang, tak terjawab. Adit hanya tersenyum dan
menggedikkan bahu kecilnya.
Aku
mengerutkan kening tanda curiga padanya.
Aku
mulai menebak-nebak dalang di balik surat-surat hijau ini. Apakah Adit? Aku
yakin bukan. Dia sudah memiliki pacar. Atau Restu? Dia teman dekat Adit. Tapi,
ah masa iya. Anak itu kan biang onar, mana mungkin bisa menulis surat
seromantis ini. Segera kutepis pikiran itu jauh-jauh.
Aku
menggeleng bingung. Kusisipkan surat hijau itu di saku tasku, berkumpul bersama
teman-temannya yang lain.
ZZZ
Masih
kupandangi tulisan tangan ini. Tidak buruk. Pasti orangnya rapih, karena
tulisannya rapih juga. Ada yang bilang, kalau pribadi kita bisa dilihat dari
tulisan tangan kita. Hehe..
Tidak
bisa aku pungkiri, walau sudah secuek mungkin aku acuhkan, aku tetap penasaran
dengan pengirim surat ini. Apa dia juga menyukai sastra sepertiku. Karena di
dalam suratnya hanya ada puisi, tanpa kata-kata lain yang jadi embel-embel.
Terkadang,
orang yang tidak menyukai sastra sekalipun, dia bisa jadi akan sangat menyukai
sastra saat dia jatuh cinta. Puisi, jenis sastra yang paling ampuh untuk
menyalurkan hasrat cinta. Apalagi yang masih terpendam.
ZZZ
Aku
benar-benar sudah tidak tahan ingin segera mengetahui siapa pengirim cinta
beramplop hijau ini.
“Res,
bisa bantu aku tidak?” hanya ekspresi wajahnya yang jadi jawaban.
“Bantu
aku mencari si empunya surat-surat hijau ini,” pintaku memelas.
“Surat
ini membuatku sangat penasaran,” lanjutku.
“Hhm..”
Resa sejenak berpikir.
Tidak
lama dia menyetujui permintaan tolongku. Diam-diam Resa mengamati gerak-gerik
teman lelaki di kelas kami. Hanya ada 6 nyawa. Eric, Dion, Hendra, Yogi, Adit
dan Restu. Yang ku tahu, empat dari mereka sudah memiliki kekasih. Tersisa Dion
dan Restu.
“Kalau
bukan Dion, ya Restu yang menulis surat itu.” Resa mengambil kesimpulan.
“Masa
sih mereka?” Aku ragu dengan kesimpulan yang diberikan Resa.
“Dion
itu kan…” tak kulanjutkan ucapanku, segera kutepis pikiranku.
“Restu…”
Aku membayangkan kelakuan Restu selama aku mengenalnya. Dia biang onar. Aku
senyum kecut.
“Nasibmu,
Na, apes.” Resa tertawa puas sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku meringis.
ZZZ
“Na,
ternyata benar, yang menulis surat itu Restu,” kata Resa masih terengah-engah
karena lari mengejarku.
Alisku
mengkerut, “Masa sih?”
Aku
masih tak percaya. Sungguh tak percaya dan tidak mau percaya. Restu. Jujur, aku
illfeel dengan anak itu. Kalau dari
fisiknya memang tidak ada yang mengecewakan. Dia ganteng, bersih, rapih. Tapi
nakalnya itu loh yang ampun-ampunan.
“Tadi
aku lihat dia menyerahkan amplop yang sama persis seperti yang kamu terima ke
Adit.” Ceritanya.
Tiba-tiba
Adit datang dengan membawa surat itu lagi saat kami sedang membicarakannya.
Memberikan surat itu dengan senyum mengembang. Kali ini aku menerimanya juga
dengan diiringi senyum. Sedikit terpaksa. Aku sedikit melirik ke pojok kelas.
Restu sedang asyik mengamati dengan seksama.
Aku
buka surat itu dengan perasaan yang sangat biasa. Datar. Aku sudah tidak
penasaran lagi dengan puisi-puisi di dalamnya.
“Cinta itu tidak akan berubah rasa,
bentuk, warna dan keindahannya, walau cara mengungkapkannya dengan
sembunyi-sembunyi dan tertulis di selembar kertas..”
Aku
menoleh ke arahnya lagi di pojok kelas, menarik bibir sekenanya. Dia terlihat
sedikit shock karena aku mengetahui
rahasianya. Dia tertunduk malu. Restu, anak nakal yang ternyata romantis.
ZZZ
(Terbit dalam Buku Antologi Bersama "Letter" Penerbit Harfeey)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar