Kamis, Februari 13, 2014

Cerpen - Surat Hijau



Surat Hijau

“Huh!”
Amplop ini lagi. Dengan warna yang sama, ukuran yang sama, dan bisa ku pastikan dengan isi yang tak jauh berbeda.
“Kau pasti tahu indahnya bulan purnama. Namun indahnya bulan tidak bisa dan tidak akan mungkin bisa melebihi keindahanmu…”
Hanya satu bait puisi rayuan. Setiap isinya pasti seperti itu. Tidak tertera nama pengirimnya. Dan selalu stand by di laci meja setiap kali aku datang. Misterius. Sekaligus konyol. Aku punya pengagum rahasia.
Aku masih celingak-celinguk ke sekeliling kelas, mencari kurir cinta itu. Tapi mana mungkin aku bisa menemukannya, kalau aku tidak tahu orangnya. Namanya pun tidak. Sudah bisa dipastikan kalau hasilnya nihil.
“Surat itu lagi?” Tanya Resa, teman sebangkuku yang selalu mendengar curhatku tentang surat ini.
“Hu’um,” masih dengan bibir angsa.
ZZZ
1, 2, 3, dan 4, sudah 4 surat yang aku terima dalam satu minggu ini. Semua ku kumpulkan di dalam saku tasku. Surat-surat itu sengaja tidak aku lenyapkan, sayang. Bukan karena aku suka isinya yang romantis, tapi karena aku suka warna dari amplopnya yang hijau. Aku suka hijau.
Entah karena kebetulan atau si pengirim juga mengetahui kalau aku menyukai warna hijau. Aku tidak terlalu ambil pusing soal itu. Yang terpenting, aku suka.
“Na, ada titipan, nih,” Adit menghalangi jalanku sambil membawa surat hijau itu. Surat ke 5 ku.
“Dari siapa?” pertanyaanku mengambang, tak terjawab. Adit hanya tersenyum dan menggedikkan bahu kecilnya.
Aku mengerutkan kening tanda curiga padanya.
Aku mulai menebak-nebak dalang di balik surat-surat hijau ini. Apakah Adit? Aku yakin bukan. Dia sudah memiliki pacar. Atau Restu? Dia teman dekat Adit. Tapi, ah masa iya. Anak itu kan biang onar, mana mungkin bisa menulis surat seromantis ini. Segera kutepis pikiran itu jauh-jauh.
Aku menggeleng bingung. Kusisipkan surat hijau itu di saku tasku, berkumpul bersama teman-temannya yang lain.
ZZZ
Masih kupandangi tulisan tangan ini. Tidak buruk. Pasti orangnya rapih, karena tulisannya rapih juga. Ada yang bilang, kalau pribadi kita bisa dilihat dari tulisan tangan kita. Hehe..
Tidak bisa aku pungkiri, walau sudah secuek mungkin aku acuhkan, aku tetap penasaran dengan pengirim surat ini. Apa dia juga menyukai sastra sepertiku. Karena di dalam suratnya hanya ada puisi, tanpa kata-kata lain yang jadi embel-embel.
Terkadang, orang yang tidak menyukai sastra sekalipun, dia bisa jadi akan sangat menyukai sastra saat dia jatuh cinta. Puisi, jenis sastra yang paling ampuh untuk menyalurkan hasrat cinta. Apalagi yang masih terpendam.
ZZZ
Aku benar-benar sudah tidak tahan ingin segera mengetahui siapa pengirim cinta beramplop hijau ini.
“Res, bisa bantu aku tidak?” hanya ekspresi wajahnya yang jadi jawaban.
“Bantu aku mencari si empunya surat-surat hijau ini,” pintaku memelas.
“Surat ini membuatku sangat penasaran,” lanjutku.
“Hhm..” Resa sejenak berpikir.
Tidak lama dia menyetujui permintaan tolongku. Diam-diam Resa mengamati gerak-gerik teman lelaki di kelas kami. Hanya ada 6 nyawa. Eric, Dion, Hendra, Yogi, Adit dan Restu. Yang ku tahu, empat dari mereka sudah memiliki kekasih. Tersisa Dion dan Restu.
“Kalau bukan Dion, ya Restu yang menulis surat itu.” Resa mengambil kesimpulan.
“Masa sih mereka?” Aku ragu dengan kesimpulan yang diberikan Resa.
“Dion itu kan…” tak kulanjutkan ucapanku, segera kutepis pikiranku.
“Restu…” Aku membayangkan kelakuan Restu selama aku mengenalnya. Dia biang onar. Aku senyum kecut.
“Nasibmu, Na, apes.” Resa tertawa puas sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku meringis.
ZZZ
“Na, ternyata benar, yang menulis surat itu Restu,” kata Resa masih terengah-engah karena lari mengejarku.
Alisku mengkerut, “Masa sih?”
Aku masih tak percaya. Sungguh tak percaya dan tidak mau percaya. Restu. Jujur, aku illfeel dengan anak itu. Kalau dari fisiknya memang tidak ada yang mengecewakan. Dia ganteng, bersih, rapih. Tapi nakalnya itu loh yang ampun-ampunan.
“Tadi aku lihat dia menyerahkan amplop yang sama persis seperti yang kamu terima ke Adit.” Ceritanya.
Tiba-tiba Adit datang dengan membawa surat itu lagi saat kami sedang membicarakannya. Memberikan surat itu dengan senyum mengembang. Kali ini aku menerimanya juga dengan diiringi senyum. Sedikit terpaksa. Aku sedikit melirik ke pojok kelas. Restu sedang asyik mengamati dengan seksama.
Aku buka surat itu dengan perasaan yang sangat biasa. Datar. Aku sudah tidak penasaran lagi dengan puisi-puisi di dalamnya.
“Cinta itu tidak akan berubah rasa, bentuk, warna dan keindahannya, walau cara mengungkapkannya dengan sembunyi-sembunyi dan tertulis di selembar kertas..”
Aku menoleh ke arahnya lagi di pojok kelas, menarik bibir sekenanya. Dia terlihat sedikit shock karena aku mengetahui rahasianya. Dia tertunduk malu. Restu, anak nakal yang ternyata romantis.
ZZZ
 (Terbit dalam Buku Antologi Bersama "Letter" Penerbit Harfeey)

Cerpen - Hari Ibu Tanpa Bunda



Hari Ibu Tanpa Bunda

22 Desember, tanggal yang sangat mengesankan untuk setiap wanita, khususnya Ibu. Ya, besok hari Ibu.
Cahaya sudah sibuk seharian. Bingung mau memberikan apa untuk Bunda. Kalau Ayah sudah mempersiapkan setangkai mawar merah untuk Bunda. Kak Fahri pulang membawa istri dan anaknya dari Banjarmasin.
“Besok kasih apa ya untuk Bunda?” Cahaya masih berpikir keras di depan cermin riasnya. Sesekali garuk-garuk rambut panjangnya yang tidak gatal.
Moment yang hanya datang satu tahun sekali ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membahagiakan wanita mulia yang melahirkan kita. Sampai-sampai Rasulullah SAW. Saja mengatakan kalau posisi Ibu 3 kali di atas derajat Bapak.
Cahaya teringat hari Ibu pada tahun-tahun lalu. Remaja 2 SMP ini menjajarkan hadiah apa saja yang pernah diberikannya pada Bunda beberapa tahun silam. Dari pemberian yang paling simple, sampai menjadikan Bunda ratu sehari.
Cahaya masih tak berkutik di depan cermin. Tiba-tiba pintu diketuk dari luar kamar. Kak Fahri masuk menghampiri adiknya. Senyumnya mengembang. Mendaratkan tepukan sayang di bahu Cahaya.
“Besok mau kasih apa untuk, Bunda?” Kak Fahri duduk di tepi ranjang. Cahaya berbalik membelakangi cermin menghadap kakaknya.
“Nggak tahu nih, aku bingung banget dari semalam, kakak punya ide?”
“Bagaimana kalau kita buat kejutan?” Cahaya mengerutkan keningnya tak mengerti.
“Ya, semacam pesta kecil-kecilan gitu,” usul Kak Fahri.
Cahaya mengulum senyum..
“Boleh juga,” Cahaya telihat sejenak berpikir.
“Tapi aku masuh bingung deh, Kak,” kata-katanya terhenti.
“Udah, kamu ikut kakak aja sekarang,” Kak Fahri menarik lengan adiknya, keluar rumah untuk membeli keperluan pesta kejutan nanti malam.
AAA

Pelan Bunda menelan makanannya. Bubur lembut itu sedikit demi sedikit mengenyangkan Bunda, dari suapan Kak Winda, istri Kak Fahri.
“Sudah, Win, Bunda sudah kenyang,” kata Bunda lemah.
“Sedikit lagi ya, Bun. Dua suap lagi kok.” Kak Winda menyuapi Bunda sekali lagi.
“Bunda harus makan yang banyak, supaya cepat sembuh,” Kak Winda mengembangkan senyum.
Sudah beberapa bulan belakangan Bunda hanya terbaring di ranjang. Bunda tidak lagi bisa beraktifitas dengan normal seperti biasanya. Bunda menderita Stroke dan Diabetes sejak beberapa tahun lalu. Dulu dokter pernah bilang kalau Bunda harus dirawat di Rumah Sakit untuk perawatan yang intensif, tapi Bunda menolak.
“Bunda mau dirawat di rumah saja sama anak-anak,” begitu katanya.
Kaki kiri Bunda bahkan sudah pernah diamputasi hingga lutut, sebab luka karena diabetesnya yang tak kunjung sembuh. Tapi bukan Bunda namanya kalau cepat menyerah, apalagi hanya karena penyakit. Bunda tetap semangat melawan sakitnya. Walau seluruh anggota tubuhnya sudah tidak bisa digerakkan, kecuali kepala. Bunda senantiasa mengembangkan senyum untuk anak dan suaminya yang setia merawat.
“Sakit itu tanda Allah sayang sama kita. Kalau Bunda diberi sakit, berarti Bunda masih disayang Allah, Allah sedang mengampuni dosa-dosa Bunda,” begitu cara Bunda menasehati anak-anaknya dan memotivasi dirinya.
“Nah, habis juga kan buburnya,” kata Kak Winda, “Sekarang Bunda istirahat ya.”
AAA

Suasana di ruang tengah sangat tidak karuan, banyak pernak-pernik pesta dan kue tart teronggok di atas meja. Cahaya dan Kak Fahri sibuk sedari tadi, menggunting dan menempel kertas untuk hiasan. Ada spanduk juga yang bertuliskan, “SELAMAT HARI BUNDA… WE LOVE BUNDA” di bagian samping ada sebuah foto keluarga saat Bunda masih sehat.
Kerja keras Cahaya dan Kak Fahri, sedikit dibantu Kak Winda dan Ayah akhirnya selesai, ba’da Isya pesta kecil itu akan dimulai.
Kak Winda membantu membukakan mukena Bunda dan menggatikannya dengan kerudung instan. Tiba-tiba Cahaya masuk dan dengan cepat sudah ada di hadapan Bunda yang tersenyum.
“Bunda, kita ke ruang tengah, yuk,” ajak Cahaya tepat di depan wajah Bunda yang pucat. Bunda mengangguk tak berdaya.
Cahaya mendorong kursi roda Bunda dengan lembut dan sayang, tidak ketinggalan dengan semangat. Mata Bunda sudah tidak jelas melihat semua yang ada di hadapannya, semuanya samar kehitaman.
Sesampainya di ruang tengah, semua anggota keluarga berteriak gembira, “SELAMAT HARI BUNDA…..” Satu dua anggota keluarga bergantian mencium dan memeluk Bunda. Di awali dari Ayah dengan mawar merahnya, Kak Fahri dan istrinya yang penurut, dan terakhir Cahaya anak bungsu Bunda yang banyak tingkah. Memeluk Bunda erat, hingga detak jantung antara Bunda dan anak itu saling terdengar.
Bunda tersenyum lebar. Cahaya ikut tersenyum, selebar senyum ikhlas Bunda. Senyum seperti itu sudah lama tidak terlihat di bibir tua itu. Sejak Bunda sakit, senyum itu lenyap.
“Selamat hari Bunda, Cahaya sayang banget sama Bunda. Bunda cepat sembuh ya.” Cahaya mengucapkan kata itu sekali lagi. Bunda hanya tersenyum. Namun senyum kali ini berbeda. Tipis. Peluknya singgah sekali lagi. Lebih erat, erat sekali seperti enggan lepas.
Tanpa Cahaya sadari, mata Bunda lamat-lamat terpejam. Lama Bunda tak membuka matanya, Cahay melepas pelukan eratnya. Ayah dengan sigap memeriksa keadaan Bunda.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un..” Ayah tertunduk.
Cahay berteriak histeris dan kembali memeluk Bunda dengan deraian air mata. Ia menangis sesenggukan. Detak jantung yang tadi begitu terasa, kini tiada lagi. Kak Fahri bersaha menenangkan sang adik. Cahayaa lemas, ia merasa dunia runtuh menimpanya.
“Ya Allah, kenapa Engkau ambil Bundaku begitu capat? Aku tak ingin kehilangan Bunda….” Air pelembut hati itu mengalir begitu deras dari matanya yang kemerahan. Cahaya ambruk tak sadarkan diri di hadapan Bunda.
Saat tak sadarkan diri, di dalam mimpinya Cahaya menemui Bunda di padang rumput yang indah dengan banyak bunga di sekelilingnya. Dan bunga mawar merah pemberian Ayah. Cahaya berlari menghampiri Bunda di tangah padang seakan menunggu kedatangannya.
“Bunda, jangan tinggalkan Cahaya,” Cahaya tak berdaya di peluk Bunda.
“Bunda kenapa pergi?” Cahaya menatap Bunda dalam. Bunda tersenyum.
“Bunda sudah tidak sabar untuk bertemu Allah.” Tangis Cahaya terhenti, peluknya terlepas. Bunda menjauhinya menuju sebuah sinar di ujung padang. Samar-samar terdengar suara Bunda.
“Bunda sayang Cahaya.”
Bunda hilang di telan sinar putih itu dan tak kembali.
AAA

Hari Ibu tahun ini tiada kesan, karena tiada Bunda. Hari Ibu bagi Cahaya adalah hari dimana ada senyum Bunda. Dan senyum Bunda selalu ada di hati Cahaya.

(Terbit dalam Buku Antologi Bersama "Keluarga Adalah Segalanya" - ElNisa Publisher)