Hari Ibu Tanpa Bunda
22 Desember, tanggal yang sangat
mengesankan untuk setiap wanita, khususnya Ibu. Ya, besok hari Ibu.
Cahaya sudah sibuk seharian. Bingung mau
memberikan apa untuk Bunda. Kalau Ayah sudah mempersiapkan setangkai mawar
merah untuk Bunda. Kak Fahri pulang membawa istri dan anaknya dari Banjarmasin.
“Besok kasih apa ya untuk Bunda?” Cahaya
masih berpikir keras di depan cermin riasnya. Sesekali garuk-garuk rambut
panjangnya yang tidak gatal.
Moment yang hanya datang satu tahun
sekali ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membahagiakan wanita mulia
yang melahirkan kita. Sampai-sampai Rasulullah SAW. Saja mengatakan kalau
posisi Ibu 3 kali di atas derajat Bapak.
Cahaya teringat hari Ibu pada tahun-tahun
lalu. Remaja 2 SMP ini menjajarkan hadiah apa saja yang pernah diberikannya
pada Bunda beberapa tahun silam. Dari pemberian yang paling simple, sampai
menjadikan Bunda ratu sehari.
Cahaya masih tak berkutik di depan
cermin. Tiba-tiba pintu diketuk dari luar kamar. Kak Fahri masuk menghampiri
adiknya. Senyumnya mengembang. Mendaratkan tepukan sayang di bahu Cahaya.
“Besok mau kasih apa untuk, Bunda?” Kak
Fahri duduk di tepi ranjang. Cahaya berbalik membelakangi cermin menghadap
kakaknya.
“Nggak tahu nih, aku bingung banget dari
semalam, kakak punya ide?”
“Bagaimana kalau kita buat kejutan?”
Cahaya mengerutkan keningnya tak mengerti.
“Ya, semacam pesta kecil-kecilan gitu,”
usul Kak Fahri.
Cahaya mengulum senyum..
“Boleh juga,” Cahaya telihat sejenak
berpikir.
“Tapi aku masuh bingung deh, Kak,”
kata-katanya terhenti.
“Udah, kamu ikut kakak aja sekarang,” Kak
Fahri menarik lengan adiknya, keluar rumah untuk membeli keperluan pesta
kejutan nanti malam.
AAA
Pelan Bunda menelan makanannya. Bubur
lembut itu sedikit demi sedikit mengenyangkan Bunda, dari suapan Kak Winda,
istri Kak Fahri.
“Sudah, Win, Bunda sudah kenyang,” kata
Bunda lemah.
“Sedikit lagi ya, Bun. Dua suap lagi
kok.” Kak Winda menyuapi Bunda sekali lagi.
“Bunda harus makan yang banyak, supaya
cepat sembuh,” Kak Winda mengembangkan senyum.
Sudah beberapa bulan belakangan Bunda
hanya terbaring di ranjang. Bunda tidak lagi bisa beraktifitas dengan normal
seperti biasanya. Bunda menderita Stroke dan Diabetes sejak beberapa tahun
lalu. Dulu dokter pernah bilang kalau Bunda harus dirawat di Rumah Sakit untuk
perawatan yang intensif, tapi Bunda menolak.
“Bunda mau dirawat di rumah saja sama
anak-anak,” begitu katanya.
Kaki kiri Bunda bahkan sudah pernah
diamputasi hingga lutut, sebab luka karena diabetesnya yang tak kunjung sembuh.
Tapi bukan Bunda namanya kalau cepat menyerah, apalagi hanya karena penyakit.
Bunda tetap semangat melawan sakitnya. Walau seluruh anggota tubuhnya sudah
tidak bisa digerakkan, kecuali kepala. Bunda senantiasa mengembangkan senyum
untuk anak dan suaminya yang setia merawat.
“Sakit itu tanda Allah sayang sama kita.
Kalau Bunda diberi sakit, berarti Bunda masih disayang Allah, Allah sedang
mengampuni dosa-dosa Bunda,” begitu cara Bunda menasehati anak-anaknya dan
memotivasi dirinya.
“Nah, habis juga kan buburnya,” kata Kak
Winda, “Sekarang Bunda istirahat ya.”
AAA
Suasana di ruang tengah sangat tidak
karuan, banyak pernak-pernik pesta dan kue tart teronggok di atas meja. Cahaya
dan Kak Fahri sibuk sedari tadi, menggunting dan menempel kertas untuk hiasan.
Ada spanduk juga yang bertuliskan, “SELAMAT HARI BUNDA… WE LOVE BUNDA” di
bagian samping ada sebuah foto keluarga saat Bunda masih sehat.
Kerja keras Cahaya dan Kak Fahri, sedikit
dibantu Kak Winda dan Ayah akhirnya selesai, ba’da Isya pesta kecil itu akan
dimulai.
Kak Winda membantu membukakan mukena
Bunda dan menggatikannya dengan kerudung instan. Tiba-tiba Cahaya masuk dan
dengan cepat sudah ada di hadapan Bunda yang tersenyum.
“Bunda, kita ke ruang tengah, yuk,” ajak
Cahaya tepat di depan wajah Bunda yang pucat. Bunda mengangguk tak berdaya.
Cahaya mendorong kursi roda Bunda dengan
lembut dan sayang, tidak ketinggalan dengan semangat. Mata Bunda sudah tidak
jelas melihat semua yang ada di hadapannya, semuanya samar kehitaman.
Sesampainya di ruang tengah, semua anggota
keluarga berteriak gembira, “SELAMAT HARI BUNDA…..” Satu dua anggota keluarga
bergantian mencium dan memeluk Bunda. Di awali dari Ayah dengan mawar merahnya,
Kak Fahri dan istrinya yang penurut, dan terakhir Cahaya anak bungsu Bunda yang
banyak tingkah. Memeluk Bunda erat, hingga detak jantung antara Bunda dan anak
itu saling terdengar.
Bunda tersenyum lebar. Cahaya ikut
tersenyum, selebar senyum ikhlas Bunda. Senyum seperti itu sudah lama tidak
terlihat di bibir tua itu. Sejak Bunda sakit, senyum itu lenyap.
“Selamat hari Bunda, Cahaya sayang banget
sama Bunda. Bunda cepat sembuh ya.” Cahaya mengucapkan kata itu sekali lagi.
Bunda hanya tersenyum. Namun senyum kali ini berbeda. Tipis. Peluknya singgah
sekali lagi. Lebih erat, erat sekali seperti enggan lepas.
Tanpa Cahaya sadari, mata Bunda
lamat-lamat terpejam. Lama Bunda tak membuka matanya, Cahay melepas pelukan
eratnya. Ayah dengan sigap memeriksa keadaan Bunda.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un..”
Ayah tertunduk.
Cahay berteriak histeris dan kembali
memeluk Bunda dengan deraian air mata. Ia menangis sesenggukan. Detak jantung
yang tadi begitu terasa, kini tiada lagi. Kak Fahri bersaha menenangkan sang
adik. Cahayaa lemas, ia merasa dunia runtuh menimpanya.
“Ya Allah, kenapa Engkau ambil Bundaku begitu
capat? Aku tak ingin kehilangan Bunda….” Air pelembut hati itu mengalir begitu
deras dari matanya yang kemerahan. Cahaya ambruk tak sadarkan diri di hadapan
Bunda.
Saat tak sadarkan diri, di dalam mimpinya
Cahaya menemui Bunda di padang rumput yang indah dengan banyak bunga di
sekelilingnya. Dan bunga mawar merah pemberian Ayah. Cahaya berlari menghampiri
Bunda di tangah padang seakan menunggu kedatangannya.
“Bunda, jangan tinggalkan Cahaya,” Cahaya
tak berdaya di peluk Bunda.
“Bunda kenapa pergi?” Cahaya menatap
Bunda dalam. Bunda tersenyum.
“Bunda sudah tidak sabar untuk bertemu
Allah.” Tangis Cahaya terhenti, peluknya terlepas. Bunda menjauhinya menuju
sebuah sinar di ujung padang. Samar-samar terdengar suara Bunda.
“Bunda sayang Cahaya.”
Bunda hilang di telan sinar putih itu dan
tak kembali.
AAA
Hari Ibu tahun ini tiada kesan, karena
tiada Bunda. Hari Ibu bagi Cahaya adalah hari dimana ada senyum Bunda. Dan
senyum Bunda selalu ada di hati Cahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar