Rabu, Februari 19, 2014

Cerpen - Ada Cinta Di Setiap Tetesnya



Ada Cinta Disetiap Tetesnya

Dia masih terpaku memandang bangunan bambu berukuran 3x3 di hadapannya. Sudah reot dan termakan usia. Seperti dirinya yang tak lagi gagah saat memaku gubuk itu dahulu.
Bu'e kasur'e tulung selehno mejo, ketok'e wis arep udan.1” Perintahnya pada sang isteri dengan logat Jawa yang kental.
Sekarang memang sedang musim pancaroba, kadang panas kadang hujan. Tidak menentu. Setidakmenentu perjalanan hidupnya. Pancaroba juga ikut andil menentukan keluarganya hari ini bisa makan atau tidak, dagangannya laku atau tidak. Terlalu sering hujan akan mengakibatkan buah-buahnya cepat busuk, terlalu panas pun akan sangat melelahkan kalau harus berkeliling kampung Asem dan kampung sebelah.
Si Mbah bukannya tidak tahu syukur. Bukannya tidak mensyukuri apa yang Allah SWT. beri padanya dan keluarga. Tapi keadaan dan fisiknya yang sudah mulai tidak lagi mendukung.
Namanya Mbah Slamet, usianya hampir menyentuh 80 tahun. Tinggal di gubuk kecil bersama isteri tercinta, anak, menantu dan satu orang cucu. Terdengar mustahil. Tapi itu yang dirasakannya setiap hari, setiap detiknya.
Mbah Slamet masih memandangnya nanar. Gubuk bambu yang sudah habis sedikit demi sedikit bagian bawahnya karena di gerus air bah setiap kali hujan deras. Gubuk itu berada tepat di pinggiran sawah dan terpinggirkan dari masyarakat. Bangunan yang sangat tidak layak disebut sebagai rumah tempat menaungi tubuh tuanya.
Di kelilingi oleh sawah dan aliran kali, tidak ada jaminan sedikitpun untuk berbesar hati baginya. Merasa nyaman dan selamat seperti namanya, tak ada yang mau berjanji soal itu. Rumahnya menjorok ke bawah, sedikit ke atas ada jalanan kampung beraspal. Sudah bisa dipastikan, setiap hujan datang, gubuk tua itu yang jadi penampung airnya.
Pak, piye iki wis usum udan, gubuk'e mesti kerendem meneh?2,” ujar Mbok Yatmi pelan.
“Kasihan cucu kita,”
Tubuh gemuk Mbok Yatmi terpaku di bale kayu depan rumah. Memandangi orang yang hilir mudik dengan kendaraan-kendaraan mentereng. Ia masih menyimpan mimpi untuk bisa seperti mereka, menunggangi besi-besi itu.
Memory kedua orang tua itu mengawang ke masa lalu, masa-masa jaya keluarga mereka. Dimana mereka memiliki rumah yang layak, walau halamannya hanya jalanan kecil yang cukup untuk satu orang lewati. Beberapa motor, usaha jahit yang lumayan maju dan tubuh yang masih gagah untuk bekerja lebih keras.
Lamunan itu segera membuyar dengan suara petir yang menyambar pohon sukun besar di samping rumah. Mbok Yatmi melonjak kaget.
“Astaghfirullah…” ucapnya sambil mengelus dada.
“Pasti banjir lagi ini, Pak,” lanjutnya berlalu masuk rumah.
Mbah Slamet bergegas menyusul sang isteri menaikan barang-barang yang mudah basah ke tempat yang lebih tinggi. Kasur kapuk yang sudah menipis, lemari kain yang sudah terlihat compang-camping disana-sini, memindahkan dan menutup gerobak dagangannya dengan terpal biru lusuh.
ZZZ
Hujan seharusnya jadi pelebur yang kerontang, bukan malah menimbulkan was-was di hati. Bagi keluarga ini, hujan deras sama dengan banjir. Jika banjir sama artinya tidak tidur atau begadang semalaman, lalu dilanjutkan kerja bakti membersihkan sampah yang tersisa dari aliran kali.
Melihat sekeliling, air sudah mulai meninggi menenggelamkan sebagian sawah, kali dan rumah Mbah Slamet. Tidak ada yang bisa dilakukan selain memandanginya hingga air itu bosan merendam mereka.
“Bahagia kan tidak harus bergelimangan harta,” kata Mbah Slamet tempo hari.
Bahagia bisa diraih dengan banyak hal, tidak hanya dengan materi semata. Yang terpenting tidak hilangnya kehangatan keluarga dan syukur pada yang memberikan kehidupan.
Kadang terbersit di benaknya, mengapa hanya dia dan keluarga kecilnya yang mengalami keadaan seperti ini? Tinggal di gubuk reot di pinggiran sawah dan kali, di dataran bawah dan bersahabat dengan air bah. Di kelilingi rumah-rumah bertingkat, yang satupun bukan miliknya. Kemana miliknya dulu yang ada di genggaman?
Memang semua yang berasal dari Allah dan tergantung kehendak Allah kapan Dia akan mengambil milik-Nya lagi. Manusia hanya dititipkan, tiada hak untuk menahan-nahan yang bukan miliknya. Manusia hanya diwajibkan bersyukur apapun yang Allah beri.
Pikiran kufur itu datang sebelum si remaja tanggung muncul. Sore itu Alan datang dengan beberapa orang berpakaian rapih, memakai jaket hitam dan ransel besar di punggung. Dua orang lelaki dan seorang perempuan berjilbab. Bertandang ke rumah Mbah Slamet yang baru saja pulang dari berdagang buah-buahan milik tetangga.
“Ini yang namanya Mbah Slamet, Pak,” Alan memperkenalkan Mbah Slamet dan keluarganya pada seorang bapak berjenggot.
“Saya Ilham, Mbah, dari Organisasi Rakyat Sejahtera,” sambil menyalami Mbah Slamet.
“Alan sudah cerita banyak tentang Mbah, dan maksud kami datang kesini untuk survey tempat tinggal Mbah.”
“Survey untuk apa?” Tanya Mbah Slamet masih tampak bingung, rumahnya jarang kedatangan tamu apalagi orang-orang yang dandanannya rapih begini.
Obrolan itu masih berlanjut hingga 2 jam, diselingi pisang goreng hangat dari sisa pisang yang belum laku terjual. Keluarga Mbah Slamet berkumpul mendengarkan seksama apa yang dibicarakan bapak berjenggot itu. Ruangan 3x3 meter itu makin sempit terasa.
“Kami akan memberikan modal usaha, serta rumah tinggal yang layak untuk Mbah dan keluarga.” Ujar perempuan berjilbab.
Mbah Slamet saling bertatap muka dengan anggota kelurganya yang lain. Masih tidak percaya dengan yang ia dengar. Seperti masih ada petir sisa hujan tadi yang menyambarnya.
“Mbah bisa berjualan buah milik sendiri, bahkan bisa mempunyai kebun sendiri,” kata bapak yang satunya.
“Mempunyai rumah di dataran yang lebih tinggi, dan tidak kebanjiran seperti kemarin-kemarin lagi.”
Mbok Yatmi sesenggukkan di bahu suaminya. Beliau tidak merasa bermimpi apapun semalam, kejatuhan sukun di samping rumah pun tidak, tiba-tiba Allah kirim Malaikatnya ke gubuk mereka.
“Alhamdulillah, terima kasih..” Si Mbah hanya mampu bersyukur dan mengucapkan terima kasih, tubuhnya lemas dan jantungnya masih bergetar.
Allah akan menambah nikmat-Nya jikalau kita bersyukur, Allah menepati janji-Nya. Memang Allah tiada akan ingkar, tidak seperti manusia yang sering kufur.
Mimpi-mimpi itu kembali membanjiri ingatan. Kesempatan untuk hidup yang lebih layak, berjejer di antara rumah-rumah kokoh itu. Tidak lagi dihampiri air bah.
Hidup terkadang seperti hujan, walau datang bergerombol, tapi ada cinta di setiap tetesnya. Cinta dari penciptanya. Tetesan yang bukan hanya bisa berubah jadi banjir yang menenggelamkan, tapi bisa juga menghidupkan. Karena kehidupan diciptakan berbeda-beda, ada yang gersang, ada juga yang gembur. Yang boleh sama hanya syukurnya.
ZZZ
Catatan kaki:
1 Bu, kasur naikan ke atas meja, sebentar lagi hujan.
2 Pak, bagaimana ini, sudah musin hujan. Gubuk ini pasti tergenang lagi.

(Terbit dalam Buku Antologi Bersama "Kisah Terbunuhnya Penari Jaipong" BacaTulis.Com)

Cerpen - Bros Merah Rajutan Ibu



Bros Merah Rajutan Ibu


 “Wah, brosnya bagus sekali, Bu,” Gadis meloncat kegirangan menubruk tubuh kurus Ibunya.
“Terima kasih, Bu,” dia memeluk erat sang Ibu.
“Maaf ya, Ibu hanya bisa merajut bros kecil ini untuk hadiah ulang tahunmu,” rambut gadis kecil itu dibelai lembut Ibunya. Membuatnya makin terbuai di sisi Ibunya.
“Bu, ini sudah cukup,”
ZZZ
Kenangan itu masih sangat terbayang di ingatannya. Air matanya mulai meleleh. Memory dua tahun lalu, kembali muncul. Bros merah rajutan Ibu masih ia kenakan hingga kini. Tidak sedetik pun Gadis lepaskan dari pakaiannya. Bros itu hadiah terakhir Ibu, Gadis tidak ingin kehilangan moment, walau hanya dengan sebuah bros kecil hasil rajutan tangan Ibunya.
“Bros jelek masih dipakai saja, Dis?” Ejek temannya di sekolah.
Gadis tidak pernah mendengarkan setiap cemo’ohan dari teman-teman yang sering mengganggunya. Di sekolah, di rumah, dimana pun.
Bros merah itu memang sudah tidak merah lagi warnanya. Sudah pudar seiring berjalannya waktu. Tapi walau warnanya pudar, kasih sayang dalam merajutnya akan senantiasa ada. Melekat di relung hatinya.
ZZZ
“Dis, aku duluan ya,” kata Sachi.
Gadis sendiri di ruang ganti. Mengganti seragam putihnya dengan pakaian olahraga. Karena terburu-buru, Gadis melupakan benda yang sangat penting. Bros Ibu. Masih terpaut di seragam putihnya.
“Ini dia bros jelek itu,” Intan melempar-lemparkan bangga bros itu ke atas dan ditangkapnya lagi. Dia menyelipkan bros itu ke saku baju dan membawanya pergi entah ke mana.
Sejak kecil, Intan selalu iri dengan Gadis. Hanya karena Gadis anak yang periang, banyak teman dan sangat diperhatikan oleh Ibunya. Tidak seperti Intan yang selalu ditinggalkan Ibunya bekerja siang-malam. Intan tidak menyukainya.
“Kamu cari apa, Dis?” Sachi bingung melihat tingkah temannya yang sepertinya sedang kebingungan mencari sesuatu.
“Brosku, Chi, bros rajutan Ibuku,” katanya masih dengan tangan mengeluarkan segala isi tasnya.
“Memangnya tadi di letakkan dimana?” lanjutnya ikut khawatir.
“Disini, di baju putihku. Tadi aku lupa memakainya saat olahraga,”
Tubuhnya lemas. Gadis bersandar memeluk lutut di depan loker siswa. Tubuhnya seperti tak bertulang. Air matanya mulai mengalir membasahi pipinya yang merona. Sachi hanya bisa menenangkan Gadis dengan usapan lembut di bahu.
ZZZ
“Dis, aku lihat bros kamu,” lengan Gadis di tarik oleh Sachi ke tempat dimana dia melihat bros merah milik Gadis.
Gadis tertegun. Bersimpuh dengan lemasnya di tepi selokan depan sekolah. Diraihnya bros merah yang kini berubah hitam karena terendam lumpur. Dia menangis lagi. Segera dia bawa bros rajut itu ke toilet. Mencucinya hingga kembali warna merahnya.
“Intan yang membuangnya, Dis, dia yang mengambil bros kamu saat kita olahraga,” Gadis menatap Sachi sejenak.
Gadis terlihat marah dengan kelakuan Intan yang terus mengganggunya.
“Tan, kenapa kamu ambil brosku dan membuangnya ke selokan?”
“Memangnya kenapa? Suka-suka aku dong.”
Gadis berusaha sesabar mungkin menghadapi Intan.
“Kenapa kamu selalu jahat sama aku, Tan? Aku salah apa padamu?”
“Aku benci melihatmu selalu memakai bros rajutan Ibumu itu!”
ZZZ
Bros itu belum lagi kering. Masih tergantung di kipas angin untuk dikeringkan. Gadis terus memandanginya. Gadis seperti bisa melihat wajah sang Ibu di bros rajut itu. 2 tahun ditinggal sang Ibu membuatnya sangat merasakan kekosongan.
“Brosnya disimpan saja, Dis,” ucap Ayah di sampingnya.
“Gadis ingin selalu dekat Ibu, Yah. Bros itu hadiah terakhir Ibu untuk ulang tahun Gadis.” Jawabnya tak bergeming.
“Dekat Ibu bisa dengan cara yang lain kan? Do’a misalnya. Malah bisa lebih berguna untuk Ibu di akhirat sana.” Gadis menatap sang Ayah yang tersenyum dalam.
Gadis menghambur ke pelukan Ayah. Tangisnya tak terbendung.
“Gadis rindu Ibu..”
Ayah memberikan sebuah kotak kecil, dengan tutup yang transparan sehingga bisa terlihat isi di dalamnya.
“Brosnya simpan di sini,” Gadis meletakkan bros merah yang baru saja kering.
Kembali ditatapnya sang Ayah, ringan sedikit rasa di hatinya. Ada Ayah yang menggatikan Ibu, walau tidak sepenuhnya seperti Ibu. Gadis mencintainya.
ZZZ

(Terbit dalam Buku Antologi Bersama "Gadis Tudung Merah" Penerbit Harfeey)