Ada
Cinta Disetiap Tetesnya
Dia masih terpaku memandang
bangunan bambu berukuran 3x3 di hadapannya. Sudah reot dan termakan usia.
Seperti dirinya yang tak lagi gagah saat memaku gubuk itu dahulu.
“Bu'e kasur'e
tulung selehno mejo, ketok'e wis arep udan.1” Perintahnya
pada sang isteri dengan logat Jawa yang kental.
Sekarang memang sedang musim
pancaroba, kadang panas kadang hujan. Tidak menentu. Setidakmenentu perjalanan
hidupnya. Pancaroba juga ikut andil menentukan keluarganya hari ini bisa makan
atau tidak, dagangannya laku atau tidak. Terlalu sering hujan akan
mengakibatkan buah-buahnya cepat busuk, terlalu panas pun akan sangat
melelahkan kalau harus berkeliling kampung Asem dan kampung sebelah.
Si Mbah bukannya tidak tahu syukur.
Bukannya tidak mensyukuri apa yang Allah SWT. beri padanya dan keluarga. Tapi
keadaan dan fisiknya yang sudah mulai tidak lagi mendukung.
Namanya Mbah Slamet, usianya hampir
menyentuh 80 tahun. Tinggal di gubuk kecil bersama isteri tercinta, anak, menantu
dan satu orang cucu. Terdengar mustahil. Tapi itu yang dirasakannya setiap
hari, setiap detiknya.
Mbah Slamet masih memandangnya
nanar. Gubuk bambu yang sudah habis sedikit demi sedikit bagian bawahnya karena
di gerus air bah setiap kali hujan deras. Gubuk itu berada tepat di pinggiran
sawah dan terpinggirkan dari masyarakat. Bangunan yang sangat tidak layak
disebut sebagai rumah tempat menaungi tubuh tuanya.
Di kelilingi oleh sawah dan aliran
kali, tidak ada jaminan sedikitpun untuk berbesar hati baginya. Merasa nyaman
dan selamat seperti namanya, tak ada yang mau berjanji soal itu. Rumahnya
menjorok ke bawah, sedikit ke atas ada jalanan kampung beraspal. Sudah bisa
dipastikan, setiap hujan datang, gubuk tua itu yang jadi penampung airnya.
“Pak, piye
iki wis usum udan, gubuk'e mesti kerendem meneh?2,”
ujar Mbok Yatmi pelan.
“Kasihan cucu kita,”
Tubuh gemuk Mbok Yatmi terpaku di
bale kayu depan rumah. Memandangi orang yang hilir mudik dengan
kendaraan-kendaraan mentereng. Ia masih menyimpan mimpi untuk bisa seperti mereka,
menunggangi besi-besi itu.
Memory kedua orang tua itu
mengawang ke masa lalu, masa-masa jaya keluarga mereka. Dimana mereka memiliki
rumah yang layak, walau halamannya hanya jalanan kecil yang cukup untuk satu
orang lewati. Beberapa motor, usaha jahit yang lumayan maju dan tubuh yang
masih gagah untuk bekerja lebih keras.
Lamunan itu segera membuyar dengan
suara petir yang menyambar pohon sukun besar di samping rumah. Mbok Yatmi
melonjak kaget.
“Astaghfirullah…” ucapnya sambil
mengelus dada.
“Pasti banjir lagi ini, Pak,”
lanjutnya berlalu masuk rumah.
Mbah Slamet bergegas menyusul sang
isteri menaikan barang-barang yang mudah basah ke tempat yang lebih tinggi.
Kasur kapuk yang sudah menipis, lemari kain yang sudah terlihat compang-camping
disana-sini, memindahkan dan menutup gerobak dagangannya dengan terpal biru
lusuh.
ZZZ
Hujan seharusnya jadi pelebur yang
kerontang, bukan malah menimbulkan was-was di hati. Bagi keluarga ini, hujan
deras sama dengan banjir. Jika banjir sama artinya tidak tidur atau begadang semalaman,
lalu dilanjutkan kerja bakti membersihkan sampah yang tersisa dari aliran kali.
Melihat sekeliling, air sudah mulai
meninggi menenggelamkan sebagian sawah, kali dan rumah Mbah Slamet. Tidak ada
yang bisa dilakukan selain memandanginya hingga air itu bosan merendam mereka.
“Bahagia kan tidak harus
bergelimangan harta,” kata Mbah Slamet tempo hari.
Bahagia bisa diraih dengan banyak
hal, tidak hanya dengan materi semata. Yang terpenting tidak hilangnya
kehangatan keluarga dan syukur pada yang memberikan kehidupan.
Kadang terbersit di benaknya,
mengapa hanya dia dan keluarga kecilnya yang mengalami keadaan seperti ini?
Tinggal di gubuk reot di pinggiran sawah dan kali, di dataran bawah dan bersahabat
dengan air bah. Di kelilingi rumah-rumah bertingkat, yang satupun bukan
miliknya. Kemana miliknya dulu yang ada di genggaman?
Memang semua yang berasal dari
Allah dan tergantung kehendak Allah kapan Dia akan mengambil milik-Nya lagi.
Manusia hanya dititipkan, tiada hak untuk menahan-nahan yang bukan miliknya. Manusia
hanya diwajibkan bersyukur apapun yang Allah beri.
Pikiran kufur itu datang sebelum si
remaja tanggung muncul. Sore itu Alan datang dengan beberapa orang berpakaian
rapih, memakai jaket hitam dan ransel besar di punggung. Dua orang lelaki dan
seorang perempuan berjilbab. Bertandang ke rumah Mbah Slamet yang baru saja
pulang dari berdagang buah-buahan milik tetangga.
“Ini yang namanya Mbah Slamet,
Pak,” Alan memperkenalkan Mbah Slamet dan keluarganya pada seorang bapak
berjenggot.
“Saya Ilham, Mbah, dari Organisasi
Rakyat Sejahtera,” sambil menyalami Mbah Slamet.
“Alan sudah cerita banyak tentang
Mbah, dan maksud kami datang kesini untuk survey tempat tinggal Mbah.”
“Survey untuk apa?” Tanya Mbah
Slamet masih tampak bingung, rumahnya jarang kedatangan tamu apalagi
orang-orang yang dandanannya rapih begini.
Obrolan itu masih berlanjut hingga
2 jam, diselingi pisang goreng hangat dari sisa pisang yang belum laku terjual.
Keluarga Mbah Slamet berkumpul mendengarkan seksama apa yang dibicarakan bapak
berjenggot itu. Ruangan 3x3 meter itu makin sempit terasa.
“Kami akan memberikan modal usaha,
serta rumah tinggal yang layak untuk Mbah dan keluarga.” Ujar perempuan
berjilbab.
Mbah Slamet saling bertatap muka
dengan anggota kelurganya yang lain. Masih tidak percaya dengan yang ia dengar.
Seperti masih ada petir sisa hujan tadi yang menyambarnya.
“Mbah bisa berjualan buah milik sendiri,
bahkan bisa mempunyai kebun sendiri,” kata bapak yang satunya.
“Mempunyai rumah di dataran yang
lebih tinggi, dan tidak kebanjiran seperti kemarin-kemarin lagi.”
Mbok Yatmi sesenggukkan di bahu
suaminya. Beliau tidak merasa bermimpi apapun semalam, kejatuhan sukun di
samping rumah pun tidak, tiba-tiba Allah kirim Malaikatnya ke gubuk mereka.
“Alhamdulillah, terima kasih..” Si
Mbah hanya mampu bersyukur dan mengucapkan terima kasih, tubuhnya lemas dan
jantungnya masih bergetar.
Allah akan menambah nikmat-Nya
jikalau kita bersyukur, Allah menepati janji-Nya. Memang Allah tiada akan
ingkar, tidak seperti manusia yang sering kufur.
Mimpi-mimpi itu kembali membanjiri
ingatan. Kesempatan untuk hidup yang lebih layak, berjejer di antara
rumah-rumah kokoh itu. Tidak lagi dihampiri air bah.
Hidup terkadang seperti hujan,
walau datang bergerombol, tapi ada cinta di setiap tetesnya. Cinta dari
penciptanya. Tetesan yang bukan hanya bisa berubah jadi banjir yang
menenggelamkan, tapi bisa juga menghidupkan. Karena kehidupan diciptakan
berbeda-beda, ada yang gersang, ada juga yang gembur. Yang boleh sama hanya
syukurnya.
ZZZ
Catatan
kaki:
1
Bu, kasur naikan ke atas meja, sebentar lagi hujan.
2
Pak,
bagaimana ini, sudah musin hujan. Gubuk ini pasti tergenang lagi.
(Terbit dalam Buku Antologi Bersama "Kisah Terbunuhnya Penari Jaipong" BacaTulis.Com)