Jumat, Mei 23, 2014

Queena Sarimbit Couple

Queena Sarimbit Couple

Semua keterangan ada di gambar

Info produk dan pemesanan: WA 085780533548 / BBM 7CAEBC90





Queena Sarimbit Keluarga


Queena Family menyambut Hari Fitri...

Keterangan ada di gambar...
Info produk dan pemesanan: WA 085780533548 / BBM 7CAEBC90



Kamis, April 03, 2014

Cerita Zaman SMK

Genk Jenius Anak Akuntansi

Setelah bebas dari Tsanawiyah, gue masuk sekolah umum. Namanya Yayasan Ath-Thahirin. Di dalamnya ada beberapa unit sekolah, SMA, SMK, SMA Plus, SMP, STM dan TK. Gue pilih unit SMK. Karena waktu zamannya gue mau masuk sekolah lanjutan dari SMP itu sedang gencar-gencarnya penyuluhan dari Pemerintah, SMK BISA! Jadilah gue masuk SMK, karena SMK selalu dijanjikan akan langsung bekerja setelah lulus.

Di SMK, kita disiapkan untuk bisa bekerja, tidak kalah dengan anak kuliahan. Gue tertarik masuk SMK karena gue mau langsung kerja. Dari kepanjangan SMK aja sudah bisa diartikan kalau SMK itu adalah Sekolah Mencari Kerja. Gue plesetin dari arti sebenarnya Sekolah Menengah Kejuruan. Saking pengennya setelah lulus nanti langsung dapat kerja.

Dari 3 jurusan yang ditawarkan si SMK itu, gue memilih mengambil jurusan Akuntansi. Gue gak tertarik dengan 2 jurusan yang lain, Multimedia dan Administrasi Perkantoran (Sekretaris). Multimedia itu berfokus pada teknologi. Dan pada saat itu gue gak terlalu tertarik dengan teknologi. Komputer dan sebagainya. Punya hp aja pas sudah masuk SMK. Jadi sebelum itu gue norak banget. Gaptek abis. Administrasi Perkantoran atau bisa juga disebut jurusan untuk jadi Sekretaris. Gue yang notabene anak tomboy, kalau harus masuk jurusan Sekretaris, apa kata dunia? Seenggaknya itu yang ada di pikiran gue saat itu. Gue gak mau harus dandan, pake sepatu hak tinggi, dan tetk bengek ke-Sekretaris-an lainnya. Jadi menurut gue jurusan yang paling aman adalah Akuntansi. Walaupun dalam hidup gue, gue sangat tidak menyukai dunia hitung-menghitung. Satu-satunya yang gue tahu dari jurusan Akuntansi adalah gue bakal sering ngitung duit. Dan ternyata dalam kenyataannya, duit itu hanya ada dalam bayang-bayang dan kalkulator.

Intinya di sini gue mau ngenalin teman-teman gue selama di SMK. Teman dekat gue, sahabat gue. Kalo anak-anak alay bilang teman genk gue. Tapi gue lebih suka nyebut pergumpulan kita sebagai Sahabat Jenius.

Biasanya, di sekolah pada umumnya, setiap pergantian tahun, kelas kita pasti berubah dan otomatis teman kita juga pasti berubah. Tapi gak buat kelas gue. Selama tiga tahun di kelas Akuntansi, teman sebangku gue sama. Cuma kelasnya aja yang berubah. Karena kelas Akuntansi di unit gue cuma satu kelas. Beda dengan kelas Administrasi dan Multimedia yang masing masih memiliki dua sampai tiga kelas.

Di kelas, gue termasuk yang paling beruntung. Bukan karena gue disayang guru atau karena gue pinter ngitung. Tapi karena gue duduk sebangku dengan teman yang paling pandai Akuntansi.. Hahahahahahahaha...

Tiga tahun selama di SMK gue duduk sama dia, namanya Nina Rubiyanti. Mukanya bulat, pipinya chubby, gak pendek gak tinggi juga. Ya, masih tinggian gue. Tapi dia baik banget, karena selalu ngijinin gue buat nyontek kerjaan Akuntansinya. ^_^

Dia anak kedua dari tiga bersaudara yang kesemuanya adalah perempuan. Kakaknya juga alumni dari sekolah yang sama kayak kita. Adiknya masih SMP saat itu. Mungkin sekarang SMA.

Ada lagi, namanya Tri Sujiya Ningsih. Orangnya gembul. 

Kamis, Maret 27, 2014

Cernak - Mobil Mainan



Mobil Mainan

Siang ini Ali mendapat giliran untuk menemani Ibu berbelanja di Supermarket. Membeli sayuran untuk makan malam nanti.
“Bu, untuk apa sih kita membeli sayur, aku kan tidak suka makan sayur?”
“Sayur kan sehat, Sayang,” kata Ibu.
Ali manyun. Usahanya untuk membuat Ibu batal membeli sayur, gagal. Dan yang paling menyebalkan lagi, Ibu membeli brokoli, sayur yang paling tidak disukai Ali. Bentuknya aneh, warnanya hijau dan rasanya pahit. Ali tidak suka.
“Ali, ayo, kita sudah selesai..” panggil Ibu di meja kasir.
Ali sibuk dengan mainannya, mobil-mobilan yang dibelikan Ayah dari hasil merajuk kemarin. Ali berjalan malas menghampiri Ibu. Tiba-tiba Ali menjadi sangat bersemangat saat melewati deretan mainan. Pandangannya tertuju pada sebuah benda berwarna merah. Mobil mainan yang sudah lama Ali inginkan.
“Bu, Ali mau mobilan itu,” pinta Ali sambil menarik baju Ibunya.
“Kamu kan sudah punya banyak mobilan, Ali,” jawab Ibu.
“Tapi yang itu belum, Bu,” bujuk Ali pada Ibunya, tapi tampaknya tidak berhasil.
“Tidak, Ali,” bibir Ali manyun lima senti.
Disaat Ibu sedang sibuk membayar belanjaan, Ali kembali ke tempat mainan tadi. Pandangan matanya mengamati sekitar. Aman. Secara sembunyi-sembunyi, Ali memasukkan mobilan yang dibungkus plastik putih itu ke dalam saku celananya. Ali mencuri mobil mainan itu.
ZZZ
“Itu mainan siapa, Ali? Rasanya kamu tidak punya mobil mainan seperti itu.” Tanya Ibu saat Ali sedang asyik memainkan mobil mainan yang dia curi tadi siang.
“Mmm.. Mobil mainan Indra, Bu,” Ibu mengangguk dan membulatkan bibirnya.
Ali menghela napas lega setelah Ibu berlalu dari kamarnya. Ali berbohong.
ZZZ
“Tante, Ali ada?” sapa Indra, teman sepermainan Ali sekaligus tetangga samping rumahnya.
“Ada, Indra mau ambil mobil-mobilan yang dipinjam Ali ya?” jawab Ibu Ali.
“Mobil?” Indra bingung dengan pertanyaan Ibu Ali.
Seingatnya dia tidak pernah meminjamkan mobil mainannya pada Ali. Lagi pula, mobil mainan Ali lebih banyak dibanding mobil mainan miliknya.
“Ali tidak pernah meminjam mobil mainan Indra, Tante,” lanjutnya menjelaskan.
“Loh, Ali bilang mobil merah itu dia pinjam dari Indra,”
Ibu beranjak menghampiri Ali di kamarnya, masih asyik dengan mobil mainan barunya, Indra mengikuti di belakang Ibu.
“Ali..” ucap Ibu lembut.
“Iya, Bu.” Ali bangun dari tidur santainya.
“Ibu mau tanya, mobil itu milik siapa?” Ibu menunjuk mobil merah di genggaman Ali.
“Mobil mainan Indra, Bu, kan Ali sudah bilang tadi,”
“Tapi Indra bilang itu bukan mobil mainannya,”
Tiba-tiba Indra muncul di daun pintu, Ali kaget, kebohongannya akan terbongkar jika ada Indra. Dan orang tuanya juga akan marah besar jika mengetahui anaknya telah berbohong dan mencuri.
“Emm..” Ali terdiam, tidak tahu harus menjawab pertanyaan Ibu dengan kebohongan apa lagi.
“Ali..” Ibu membelai kepala Ali penuh cinta.
“Coba jawab yang jujur, jawab dengan ini,” Ibu menunjuk dada Ali, “Anak Ibu bukan pembohong kan?” Ali menggeleng.
“Ali..” kata-katanya terputus, “Ali mengambilnya dari pasar kemarin, Bu,” Ali tertunduk dalam, menyesali perbuatannya.
“Baik, besok kita kembalikan mobil mainan ini ke pasar, ya, dan Ali harus janji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi.” Ali mengangguk lalu memeluk Ibunya erat.
“Ali minta maaf, Bu..”
ZZZ
Pesan: Jika kita menginginkan sesuatu, cara mendapatkannya harus dengan hasil usaha sendiri. Tidak dengan cara mengambil milik orang lain, apalagi sampai berbohong untuk memilikinya. Jujur itu lebih baik dan menenangkan walau kadang terasa pahit.


(Terbit dalam Buku Antologi Bersama "Cerita Anak Penuh Warna" Penerbit Meta Kata)

Cerpen - Diary Jilbab



DIARY JILBAB

“Ma, pakaikan jilbab dong.” Teriakku memanggil Mama yang ada di ruang tamu, sambil tanganku memegang jilbab yang bertengger di kepala agar tidak lari kemana-mana.
“Sudah Tsanawiyah masih tidak bisa pakai jilbab sendiri. Masa Mama harus pakaikan kamu jilbab sampai 3 tahun.” Mama nyerocos di hadapanku, tangannya lihai menyematkan peniti kuning kecil di jilbab almamater putihku.
Aku hanya diam mendengarkan sambil berpikir. Selama ini memang aku tidak pernah memakai jilbab segi empat, sejak di TPA alias Taman Pendidikan Al-Qur’an aku hanya memakai bergo atau kerudung langsung pakai yang ada talinya.
Sekarang, aku harus memakai jilbab segi empat setiap hari ke sekolah. Aku sampai tidak berani untuk bercermin, wajahku pasti jelek sekali memakai jilbab ini. Hanya berani melirik beberapa saat. Dan aku pastikan wajahku culun karenanya.
Dengan bentuk wajah oval, jilbab lebar menjuntai, hiasan satu peniti kecil di baliknya. Ooh, tidak karuan.
Hari pertama masuk sekolah Tsanawiyah, langkahku lunglai. Tidak semangat sama sekali. Sampai di sekolah seperti orang bingung, tidak biasa melihat seisi sekolah yang anak perempuannya pakai penutup kepala semua. Rapih dan cantik. Aku? Ampuuunnn….
ZZZ
Mama dan Nenek benar-benar salah mendaftarkan aku ke sekolah Islam ini. Aku tidak mengerti apa-apa. Cara pakai jilbab, lingkungan, apalagi pelajarannya. Apa itu Fiqih, Al-Qur’an Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab. Bahasa Inggris saja aku bingungnya bukan main, bagaimana Bahasa Arab yang hurufnya sambung semua.
Mereka memang egois, orang dewasa maunya menang sendiri. Aku yang mau sekolah, kenapa hanya Mama dan Nenek yang diskusi. Tanpa aba-aba aku langsung di masukkan ke sekolah ninja ini.
Sebenarnya sebelum masuk Tsanawiyah, aku sempat diberikan pilihan oleh Nenek. Mau masuk Tsanawiyah atau masuk pesantren di Tasikmalaya. Ya jelas saja aku memilih masuk Tsanawiyah atau lebih tepatnya terpaksa memilih, daripada harus masuk pesantren dan terkurung di pondok. Itu lebih  parah namanya.
Mama dan Nenek tersenyum penuh kemenangan. Untuk anak sepertiku, yang awam dengan jilbab dan lebih sering telanjang kepala, jilbab itu luar biasa panasnya. Dari pagi sampai siang di sekolah, di dalam ruangan yang kipas angin pun tidak kelihatan di mana wujudnya.
Setiap hari kerjanya kipas-kipas di balik jilbab. Tangan kanan menulis, tangan kiri bertugas mendinginkan tubuh. Teman yang lain santai-santai saja dengan jilbabnya. Aku kenapa grasak-grusuk sendiri dengan jilbab ini?
ZZZ
Nenek memang salah satu sesepuh di kampungku. Beliau guru ngaji ibu-ibu di lingkungan rumah dan pimpinan Majlis Ta’lim. Maka dari itu, aku tidak dibiarkan masuk sekolah sembarangan. Lewat Tsanawiyah atau sekolah Islam yang setara dengan SMP ini, Nenek menginginkan aku bisa lebih kalem, pandai Agama dan jadi anak perempuan baik-baik.
Mungkin Nenek sudah terlalu muak dengan kelakuanku. Setiap hari bermain dengan anak lelaki, pakai kaos oblong dan celana pendek, main permainan anak lelaki. Saat anak perempuan seusiaku bermain congklak, lompat tali dan masak-masakan, aku lebih memilih bermain kelereng, main benteng dan memanjat pohon jambu air di pekarangan rumah Nenek.
Susah disuruh shalat, ngaji, sampai makan saja lupa kalau sudah ketemu teman-teman. Setiap adzan berkumandang, Nenek selalu teriak, “Annisa, shalat!” Suara Nenek bisa terdengar dari teras rumah sampai rumah temanku. Kalau tidak pulang juga setelah diteriaki, Nenek pasti menarik tanganku sambil mengomel memaksa pulang.
Mau disuruh shalat atau makan, caranya sama. Begitu juga saatnya mandi. Perlu tenaga extra untuk teriak dan menyeretku. Sampai-sampai tetanggaku pernah bilang, “Rebus aja punya anak begitu mah.” Sadis sekali tuh tetangga.
Hanya Nenek yang memperlakukan aku macam itu. Mama tidak pernah menarikku untuk pulang saat aku bermain. Karena Mama sibuk bekerja, bahkan terkadang tidak pulang. Bekerja sebagai penjahit kasur lantai membuat Mama tidak sempat mengurusku. Bukan karena penghasilannya yang besar lantas dituntut untuk fokus pada pekerjaan. Tapi justru karena penghasilan yang tidak seberapa, membuat Mama harus sering lembur mengumpulkan keping recehan.
Hampir 24 jam aku bersama Nenek. Makan masakan Nenek, tinggal di rumah Nenek, jajan dari uang Nenek, sekolah juga yang bayar Nenek. Semua Nenek. Penghasilan Mama tidak cukup untuk menyekolahkanku, hanya bisa menutupi bagian-bagian kecil dari kehidupan kami.
ZZZ
Sejak masuk Tsanawiyah yang mengharuskan aku naik kendaraan umum untuk sampai ke sekolah, aku jadi malas bermain. Lelah di perjalanan. Sampai rumah, makan dan langsung tidur siang. Aku anggap Nenek berhasil membuatku tidak bermain lagi, kecuali kalau temanku datang ke rumah untuk mengajakku bermain. Kalau tidak begitu, aku lebih baik nonton tv atau baca novel.
Ada lagi perubahanku sejak bergaul dengan teman-temanku di sekolah. Aku jadi senang memperhatikan orang-orang yang menggunakan jilbab lebar. Singgah secuil rasa iri di hati. Dia cantik sekali menggunakan jilbab yang lebarnya hingga melebihi pinggang. Aku ingin.
“Dirubah, Dik, sedikit-sedikit,” kata Kak Wulan menyemangatiku.
“Nanti kalau sudah biasa, pasti nyaman,” lanjutnya saat aku curhat padanya.
“Lagian, masih betah aja pake jilbab sarang tahu begitu!” Cetus Kak Wahab. Bibirku maju lima centi.
Jilbabku memang seperti saringan tahu kalau diperhatikan. Tipis. Bayangan rambutku sampai terlihat saat memakainya. Apalagi sejak bisa gaya pakai jilbab anak sekarang, yang dililit-lilit ke belakang kepala, makin berantakan saja.
“Tapi aku tidak bisa pakai jilbab seperti Kakak,” ujarku lemas.
“Nanti kita belajar ya. Kalau menurut Kakak, jilbab syar’i itu lebih mudah di pakai daripada jilbab-jilbab zaman sekarang. Yang harus dililit-lilit, dikasih aksesoris ini-itu. Jadi terkesan tabarruj atau malah memakai jilbab hanya untuk mencari perhatian dan kepopuleran. Jatuhnya tidak dianjurkan oleh agama.” Aku manggut-manggut mendengarkan.
“Tapi, Kak.” Suaraku masih terdengar ragu.
“Aku tidak punya jilbab lebar. Tidak punya uang untuk belinya.”
Kak Wulan tersenyum.
ZZZ
“Ini untuk kamu, Nisa,” Kak Erli, isteri Kak Wahab menghampiriku dengan membawa tumpukan baju dan jilbab.
“Kak Wulan bilang, kamu belum punya jilbab lebar. Ini Kakak ada beberapa, tidak baru sih tapi setidaknya masih layak untuk dipakai,” lanjutnya.
“Terima kasih, Kak.”
Aku menerimanya dengan tangan gemetar dan menahan tangis. Aku memang belum mampu membeli jilbab-jilbab ini. Jilbab yang aku kenakan untuk ke sekolah saja, milik Mama. Baju muslim, aku juga tidak memilikinya. Mungkin Kak Erli ingin melihatku seperti muslimah lain, memakai gamis dan jilbab lebar. Karena selama pertemuan kami, aku selalu menggunakan seragam sekolah atau kaos dan celana panjang.
Dalam hidup, aku tidak pernah memikirkan untuk membeli baju. Kalaupun ada, aku segera menepisnya. Aku lebih memilih untuk memikirkan hal lain dan menjalani hidup dengan apa yang aku punya. Aku juga pernah iri dengan apa yang teman-temanku miliki. Sering. Saat sepatu sekolahku berlubang bagian alasnya dan tidak langsung bisa membeli gantinya. Hatiku menangis.
ZZZ
Mata-mata itu seakan ingin menerkamku. Memandangiku sejak masuk gerbang tadi. Apa ada yang salah? Mungkin. Aku juga merasa. Tapi bukan sebuah kesalahan. Hanya sedikit berbeda dari biasanya.
Mata itu masih menakutkan. Tapi kali ini diiringi senyuman.
“Annisaaa..” Guru komputerku yang juga berjilbab lebar menghampiriku dengan senyuman mengembang indah. Aku ikut tersenyum ragu.
“Kamu cantik sekali. Lebih shalehah,” katanya di hadapanku.
“Biasa aja, Bu. Sama seperti kemarin-kemarin.”
Senyumnya masih kudapati di situ, di lengkungan bibir itu. Beliau juga salah satu yang menyemangatiku untuk berubah.
“Pakai jilbab itu memang panas. Panas sekali. Keringat mengalir di badan dan sangat tidak nyaman. Itu untuk yang tidak ikhlas menutup auratnya. Berjilbab hanya untuk mentaati peraturan sekolah, atau ikut-ikut tren. Tapi untuk yang ihklas hatinya karena tahu kalau jilbab itu adalah kewajiban yang diperintahkan Allah langsung, yang berjilbab itu akan merasa dengan jilbab dia akan terlindungi dari sengat matahari, dari hujan, dari gangguan orang-orang yang berniat jahat dan terasa sejuk, bukan hanya di badan tapi juga di hati.” Begitu nasihatnya dulu.
Hari pertamaku menggunakan jilbab lebar ini, berhasil membuatku berlinangan air mata lagi karena teringat pesan guruku. Entah, aku merasa lebih ringan dengan hidup ini. Apa mungkin karena ku tanggalkan kebiasaanku yang lama dan merubahnya jadi lebih syar’i? Yang pasti sekarang aku bahagia dengan hidayah dari hasil mengais ini.
“Akhirnya..” Kak Erli sepertinya sangat lega melihatku dengan jilbab putih pemberiannya tempo hari.
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia dakwah, perubahanku menjadi kebanggaan tersendiri untuknya. Bisa merubah anak tomboi ini menjadi perempuan yang lebih anggun dengan juntaian jilbabnya.
Dan yang paling membuatku melayang adalah senyuman dari orang-orang tercinta di rumah, Mama dan Nenek. Hanya senyum. Itu sudah mampu membuatku lebih kuat untuk bertahan dan istiqomah dengan hidayah ini. Insya Allah..
ZZZ

(Terbit dalam Buku Antologi Bersama "Namaku Annisa" Penerbit Asrifa)

 






Rabu, Februari 19, 2014

Cerpen - Ada Cinta Di Setiap Tetesnya



Ada Cinta Disetiap Tetesnya

Dia masih terpaku memandang bangunan bambu berukuran 3x3 di hadapannya. Sudah reot dan termakan usia. Seperti dirinya yang tak lagi gagah saat memaku gubuk itu dahulu.
Bu'e kasur'e tulung selehno mejo, ketok'e wis arep udan.1” Perintahnya pada sang isteri dengan logat Jawa yang kental.
Sekarang memang sedang musim pancaroba, kadang panas kadang hujan. Tidak menentu. Setidakmenentu perjalanan hidupnya. Pancaroba juga ikut andil menentukan keluarganya hari ini bisa makan atau tidak, dagangannya laku atau tidak. Terlalu sering hujan akan mengakibatkan buah-buahnya cepat busuk, terlalu panas pun akan sangat melelahkan kalau harus berkeliling kampung Asem dan kampung sebelah.
Si Mbah bukannya tidak tahu syukur. Bukannya tidak mensyukuri apa yang Allah SWT. beri padanya dan keluarga. Tapi keadaan dan fisiknya yang sudah mulai tidak lagi mendukung.
Namanya Mbah Slamet, usianya hampir menyentuh 80 tahun. Tinggal di gubuk kecil bersama isteri tercinta, anak, menantu dan satu orang cucu. Terdengar mustahil. Tapi itu yang dirasakannya setiap hari, setiap detiknya.
Mbah Slamet masih memandangnya nanar. Gubuk bambu yang sudah habis sedikit demi sedikit bagian bawahnya karena di gerus air bah setiap kali hujan deras. Gubuk itu berada tepat di pinggiran sawah dan terpinggirkan dari masyarakat. Bangunan yang sangat tidak layak disebut sebagai rumah tempat menaungi tubuh tuanya.
Di kelilingi oleh sawah dan aliran kali, tidak ada jaminan sedikitpun untuk berbesar hati baginya. Merasa nyaman dan selamat seperti namanya, tak ada yang mau berjanji soal itu. Rumahnya menjorok ke bawah, sedikit ke atas ada jalanan kampung beraspal. Sudah bisa dipastikan, setiap hujan datang, gubuk tua itu yang jadi penampung airnya.
Pak, piye iki wis usum udan, gubuk'e mesti kerendem meneh?2,” ujar Mbok Yatmi pelan.
“Kasihan cucu kita,”
Tubuh gemuk Mbok Yatmi terpaku di bale kayu depan rumah. Memandangi orang yang hilir mudik dengan kendaraan-kendaraan mentereng. Ia masih menyimpan mimpi untuk bisa seperti mereka, menunggangi besi-besi itu.
Memory kedua orang tua itu mengawang ke masa lalu, masa-masa jaya keluarga mereka. Dimana mereka memiliki rumah yang layak, walau halamannya hanya jalanan kecil yang cukup untuk satu orang lewati. Beberapa motor, usaha jahit yang lumayan maju dan tubuh yang masih gagah untuk bekerja lebih keras.
Lamunan itu segera membuyar dengan suara petir yang menyambar pohon sukun besar di samping rumah. Mbok Yatmi melonjak kaget.
“Astaghfirullah…” ucapnya sambil mengelus dada.
“Pasti banjir lagi ini, Pak,” lanjutnya berlalu masuk rumah.
Mbah Slamet bergegas menyusul sang isteri menaikan barang-barang yang mudah basah ke tempat yang lebih tinggi. Kasur kapuk yang sudah menipis, lemari kain yang sudah terlihat compang-camping disana-sini, memindahkan dan menutup gerobak dagangannya dengan terpal biru lusuh.
ZZZ
Hujan seharusnya jadi pelebur yang kerontang, bukan malah menimbulkan was-was di hati. Bagi keluarga ini, hujan deras sama dengan banjir. Jika banjir sama artinya tidak tidur atau begadang semalaman, lalu dilanjutkan kerja bakti membersihkan sampah yang tersisa dari aliran kali.
Melihat sekeliling, air sudah mulai meninggi menenggelamkan sebagian sawah, kali dan rumah Mbah Slamet. Tidak ada yang bisa dilakukan selain memandanginya hingga air itu bosan merendam mereka.
“Bahagia kan tidak harus bergelimangan harta,” kata Mbah Slamet tempo hari.
Bahagia bisa diraih dengan banyak hal, tidak hanya dengan materi semata. Yang terpenting tidak hilangnya kehangatan keluarga dan syukur pada yang memberikan kehidupan.
Kadang terbersit di benaknya, mengapa hanya dia dan keluarga kecilnya yang mengalami keadaan seperti ini? Tinggal di gubuk reot di pinggiran sawah dan kali, di dataran bawah dan bersahabat dengan air bah. Di kelilingi rumah-rumah bertingkat, yang satupun bukan miliknya. Kemana miliknya dulu yang ada di genggaman?
Memang semua yang berasal dari Allah dan tergantung kehendak Allah kapan Dia akan mengambil milik-Nya lagi. Manusia hanya dititipkan, tiada hak untuk menahan-nahan yang bukan miliknya. Manusia hanya diwajibkan bersyukur apapun yang Allah beri.
Pikiran kufur itu datang sebelum si remaja tanggung muncul. Sore itu Alan datang dengan beberapa orang berpakaian rapih, memakai jaket hitam dan ransel besar di punggung. Dua orang lelaki dan seorang perempuan berjilbab. Bertandang ke rumah Mbah Slamet yang baru saja pulang dari berdagang buah-buahan milik tetangga.
“Ini yang namanya Mbah Slamet, Pak,” Alan memperkenalkan Mbah Slamet dan keluarganya pada seorang bapak berjenggot.
“Saya Ilham, Mbah, dari Organisasi Rakyat Sejahtera,” sambil menyalami Mbah Slamet.
“Alan sudah cerita banyak tentang Mbah, dan maksud kami datang kesini untuk survey tempat tinggal Mbah.”
“Survey untuk apa?” Tanya Mbah Slamet masih tampak bingung, rumahnya jarang kedatangan tamu apalagi orang-orang yang dandanannya rapih begini.
Obrolan itu masih berlanjut hingga 2 jam, diselingi pisang goreng hangat dari sisa pisang yang belum laku terjual. Keluarga Mbah Slamet berkumpul mendengarkan seksama apa yang dibicarakan bapak berjenggot itu. Ruangan 3x3 meter itu makin sempit terasa.
“Kami akan memberikan modal usaha, serta rumah tinggal yang layak untuk Mbah dan keluarga.” Ujar perempuan berjilbab.
Mbah Slamet saling bertatap muka dengan anggota kelurganya yang lain. Masih tidak percaya dengan yang ia dengar. Seperti masih ada petir sisa hujan tadi yang menyambarnya.
“Mbah bisa berjualan buah milik sendiri, bahkan bisa mempunyai kebun sendiri,” kata bapak yang satunya.
“Mempunyai rumah di dataran yang lebih tinggi, dan tidak kebanjiran seperti kemarin-kemarin lagi.”
Mbok Yatmi sesenggukkan di bahu suaminya. Beliau tidak merasa bermimpi apapun semalam, kejatuhan sukun di samping rumah pun tidak, tiba-tiba Allah kirim Malaikatnya ke gubuk mereka.
“Alhamdulillah, terima kasih..” Si Mbah hanya mampu bersyukur dan mengucapkan terima kasih, tubuhnya lemas dan jantungnya masih bergetar.
Allah akan menambah nikmat-Nya jikalau kita bersyukur, Allah menepati janji-Nya. Memang Allah tiada akan ingkar, tidak seperti manusia yang sering kufur.
Mimpi-mimpi itu kembali membanjiri ingatan. Kesempatan untuk hidup yang lebih layak, berjejer di antara rumah-rumah kokoh itu. Tidak lagi dihampiri air bah.
Hidup terkadang seperti hujan, walau datang bergerombol, tapi ada cinta di setiap tetesnya. Cinta dari penciptanya. Tetesan yang bukan hanya bisa berubah jadi banjir yang menenggelamkan, tapi bisa juga menghidupkan. Karena kehidupan diciptakan berbeda-beda, ada yang gersang, ada juga yang gembur. Yang boleh sama hanya syukurnya.
ZZZ
Catatan kaki:
1 Bu, kasur naikan ke atas meja, sebentar lagi hujan.
2 Pak, bagaimana ini, sudah musin hujan. Gubuk ini pasti tergenang lagi.

(Terbit dalam Buku Antologi Bersama "Kisah Terbunuhnya Penari Jaipong" BacaTulis.Com)