DIARY JILBAB
“Ma,
pakaikan jilbab dong.” Teriakku memanggil Mama yang ada di ruang tamu, sambil
tanganku memegang jilbab yang bertengger di kepala agar tidak lari kemana-mana.
“Sudah
Tsanawiyah masih tidak bisa pakai jilbab sendiri. Masa Mama harus pakaikan kamu
jilbab sampai 3 tahun.” Mama nyerocos di hadapanku, tangannya lihai menyematkan
peniti kuning kecil di jilbab almamater putihku.
Aku
hanya diam mendengarkan sambil berpikir. Selama ini memang aku tidak pernah
memakai jilbab segi empat, sejak di TPA alias Taman Pendidikan Al-Qur’an aku
hanya memakai bergo atau kerudung langsung pakai yang ada talinya.
Sekarang,
aku harus memakai jilbab segi empat setiap hari ke sekolah. Aku sampai tidak
berani untuk bercermin, wajahku pasti jelek sekali memakai jilbab ini. Hanya
berani melirik beberapa saat. Dan aku pastikan wajahku culun karenanya.
Dengan
bentuk wajah oval, jilbab lebar menjuntai, hiasan satu peniti kecil di
baliknya. Ooh, tidak karuan.
Hari
pertama masuk sekolah Tsanawiyah, langkahku lunglai. Tidak semangat sama
sekali. Sampai di sekolah seperti orang bingung, tidak biasa melihat seisi
sekolah yang anak perempuannya pakai penutup kepala semua. Rapih dan cantik.
Aku? Ampuuunnn….
ZZZ
Mama
dan Nenek benar-benar salah mendaftarkan aku ke sekolah Islam ini. Aku tidak
mengerti apa-apa. Cara pakai jilbab, lingkungan, apalagi pelajarannya. Apa itu
Fiqih, Al-Qur’an Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab. Bahasa Inggris
saja aku bingungnya bukan main, bagaimana Bahasa Arab yang hurufnya sambung semua.
Mereka
memang egois, orang dewasa maunya menang sendiri. Aku yang mau sekolah, kenapa
hanya Mama dan Nenek yang diskusi. Tanpa aba-aba aku langsung di masukkan ke
sekolah ninja ini.
Sebenarnya
sebelum masuk Tsanawiyah, aku sempat diberikan pilihan oleh Nenek. Mau masuk
Tsanawiyah atau masuk pesantren di Tasikmalaya. Ya jelas saja aku memilih masuk
Tsanawiyah atau lebih tepatnya terpaksa memilih, daripada harus masuk pesantren
dan terkurung di pondok. Itu lebih parah
namanya.
Mama
dan Nenek tersenyum penuh kemenangan. Untuk anak sepertiku, yang awam dengan
jilbab dan lebih sering telanjang kepala, jilbab itu luar biasa panasnya. Dari
pagi sampai siang di sekolah, di dalam ruangan yang kipas angin pun tidak
kelihatan di mana wujudnya.
Setiap
hari kerjanya kipas-kipas di balik jilbab. Tangan kanan menulis, tangan kiri
bertugas mendinginkan tubuh. Teman yang lain santai-santai saja dengan
jilbabnya. Aku kenapa grasak-grusuk sendiri dengan jilbab ini?
ZZZ
Nenek
memang salah satu sesepuh di kampungku. Beliau guru ngaji ibu-ibu di lingkungan
rumah dan pimpinan Majlis Ta’lim. Maka dari itu, aku tidak dibiarkan masuk
sekolah sembarangan. Lewat Tsanawiyah atau sekolah Islam yang setara dengan SMP
ini, Nenek menginginkan aku bisa lebih kalem, pandai Agama dan jadi anak
perempuan baik-baik.
Mungkin
Nenek sudah terlalu muak dengan kelakuanku. Setiap hari bermain dengan anak
lelaki, pakai kaos oblong dan celana pendek, main permainan anak lelaki. Saat
anak perempuan seusiaku bermain congklak, lompat tali dan masak-masakan, aku
lebih memilih bermain kelereng, main benteng dan memanjat pohon jambu air di
pekarangan rumah Nenek.
Susah
disuruh shalat, ngaji, sampai makan saja lupa kalau sudah ketemu teman-teman.
Setiap adzan berkumandang, Nenek selalu teriak, “Annisa, shalat!” Suara Nenek
bisa terdengar dari teras rumah sampai rumah temanku. Kalau tidak pulang juga
setelah diteriaki, Nenek pasti menarik tanganku sambil mengomel memaksa pulang.
Mau
disuruh shalat atau makan, caranya sama. Begitu juga saatnya mandi. Perlu tenaga
extra untuk teriak dan menyeretku. Sampai-sampai tetanggaku pernah bilang,
“Rebus aja punya anak begitu mah.” Sadis sekali tuh tetangga.
Hanya
Nenek yang memperlakukan aku macam itu. Mama tidak pernah menarikku untuk
pulang saat aku bermain. Karena Mama sibuk bekerja, bahkan terkadang tidak
pulang. Bekerja sebagai penjahit kasur lantai membuat Mama tidak sempat
mengurusku. Bukan karena penghasilannya yang besar lantas dituntut untuk fokus
pada pekerjaan. Tapi justru karena penghasilan yang tidak seberapa, membuat
Mama harus sering lembur mengumpulkan keping recehan.
Hampir
24 jam aku bersama Nenek. Makan masakan Nenek, tinggal di rumah Nenek, jajan
dari uang Nenek, sekolah juga yang bayar Nenek. Semua Nenek. Penghasilan Mama
tidak cukup untuk menyekolahkanku, hanya bisa menutupi bagian-bagian kecil dari
kehidupan kami.
ZZZ
Sejak
masuk Tsanawiyah yang mengharuskan aku naik kendaraan umum untuk sampai ke
sekolah, aku jadi malas bermain. Lelah di perjalanan. Sampai rumah, makan dan
langsung tidur siang. Aku anggap Nenek berhasil membuatku tidak bermain lagi,
kecuali kalau temanku datang ke rumah untuk mengajakku bermain. Kalau tidak
begitu, aku lebih baik nonton tv atau baca novel.
Ada
lagi perubahanku sejak bergaul dengan teman-temanku di sekolah. Aku jadi senang
memperhatikan orang-orang yang menggunakan jilbab lebar. Singgah secuil rasa
iri di hati. Dia cantik sekali menggunakan jilbab yang lebarnya hingga melebihi
pinggang. Aku ingin.
“Dirubah,
Dik, sedikit-sedikit,” kata Kak Wulan menyemangatiku.
“Nanti
kalau sudah biasa, pasti nyaman,” lanjutnya saat aku curhat padanya.
“Lagian,
masih betah aja pake jilbab sarang tahu begitu!” Cetus Kak Wahab. Bibirku maju
lima centi.
Jilbabku
memang seperti saringan tahu kalau diperhatikan. Tipis. Bayangan rambutku sampai
terlihat saat memakainya. Apalagi sejak bisa gaya pakai jilbab anak sekarang,
yang dililit-lilit ke belakang kepala, makin berantakan saja.
“Tapi
aku tidak bisa pakai jilbab seperti Kakak,” ujarku lemas.
“Nanti
kita belajar ya. Kalau menurut Kakak, jilbab syar’i itu lebih mudah di pakai
daripada jilbab-jilbab zaman sekarang. Yang harus dililit-lilit, dikasih
aksesoris ini-itu. Jadi terkesan tabarruj atau malah memakai jilbab hanya untuk
mencari perhatian dan kepopuleran. Jatuhnya tidak dianjurkan oleh agama.” Aku
manggut-manggut mendengarkan.
“Tapi,
Kak.” Suaraku masih terdengar ragu.
“Aku
tidak punya jilbab lebar. Tidak punya uang untuk belinya.”
Kak
Wulan tersenyum.
ZZZ
“Ini
untuk kamu, Nisa,” Kak Erli, isteri Kak Wahab menghampiriku dengan membawa tumpukan
baju dan jilbab.
“Kak
Wulan bilang, kamu belum punya jilbab lebar. Ini Kakak ada beberapa, tidak baru
sih tapi setidaknya masih layak untuk dipakai,” lanjutnya.
“Terima
kasih, Kak.”
Aku
menerimanya dengan tangan gemetar dan menahan tangis. Aku memang belum mampu
membeli jilbab-jilbab ini. Jilbab yang aku kenakan untuk ke sekolah saja, milik
Mama. Baju muslim, aku juga tidak memilikinya. Mungkin Kak Erli ingin melihatku
seperti muslimah lain, memakai gamis dan jilbab lebar. Karena selama pertemuan
kami, aku selalu menggunakan seragam sekolah atau kaos dan celana panjang.
Dalam
hidup, aku tidak pernah memikirkan untuk membeli baju. Kalaupun ada, aku segera
menepisnya. Aku lebih memilih untuk memikirkan hal lain dan menjalani hidup
dengan apa yang aku punya. Aku juga pernah iri dengan apa yang teman-temanku
miliki. Sering. Saat sepatu sekolahku berlubang bagian alasnya dan tidak
langsung bisa membeli gantinya. Hatiku menangis.
ZZZ
Mata-mata
itu seakan ingin menerkamku. Memandangiku sejak masuk gerbang tadi. Apa ada
yang salah? Mungkin. Aku juga merasa. Tapi bukan sebuah kesalahan. Hanya
sedikit berbeda dari biasanya.
Mata
itu masih menakutkan. Tapi kali ini diiringi senyuman.
“Annisaaa..”
Guru komputerku yang juga berjilbab lebar menghampiriku dengan senyuman
mengembang indah. Aku ikut tersenyum ragu.
“Kamu
cantik sekali. Lebih shalehah,” katanya di hadapanku.
“Biasa
aja, Bu. Sama seperti kemarin-kemarin.”
Senyumnya
masih kudapati di situ, di lengkungan bibir itu. Beliau juga salah satu yang
menyemangatiku untuk berubah.
“Pakai
jilbab itu memang panas. Panas sekali. Keringat mengalir di badan dan sangat
tidak nyaman. Itu untuk yang tidak ikhlas menutup auratnya. Berjilbab hanya
untuk mentaati peraturan sekolah, atau ikut-ikut tren. Tapi untuk yang ihklas
hatinya karena tahu kalau jilbab itu adalah kewajiban yang diperintahkan Allah
langsung, yang berjilbab itu akan merasa dengan jilbab dia akan terlindungi
dari sengat matahari, dari hujan, dari gangguan orang-orang yang berniat jahat
dan terasa sejuk, bukan hanya di badan tapi juga di hati.” Begitu nasihatnya
dulu.
Hari
pertamaku menggunakan jilbab lebar ini, berhasil membuatku berlinangan air mata
lagi karena teringat pesan guruku. Entah, aku merasa lebih ringan dengan hidup
ini. Apa mungkin karena ku tanggalkan kebiasaanku yang lama dan merubahnya jadi
lebih syar’i? Yang pasti sekarang aku bahagia dengan hidayah dari hasil mengais
ini.
“Akhirnya..”
Kak Erli sepertinya sangat lega melihatku dengan jilbab putih pemberiannya
tempo hari.
Sebagai
orang yang berkecimpung di dunia dakwah, perubahanku menjadi kebanggaan
tersendiri untuknya. Bisa merubah anak tomboi ini menjadi perempuan yang lebih
anggun dengan juntaian jilbabnya.
Dan
yang paling membuatku melayang adalah senyuman dari orang-orang tercinta di
rumah, Mama dan Nenek. Hanya senyum. Itu sudah mampu membuatku lebih kuat untuk
bertahan dan istiqomah dengan hidayah ini. Insya Allah..
ZZZ
(Terbit dalam Buku Antologi Bersama "Namaku Annisa" Penerbit Asrifa)