Kamis, Maret 27, 2014

Cerpen - Diary Jilbab



DIARY JILBAB

“Ma, pakaikan jilbab dong.” Teriakku memanggil Mama yang ada di ruang tamu, sambil tanganku memegang jilbab yang bertengger di kepala agar tidak lari kemana-mana.
“Sudah Tsanawiyah masih tidak bisa pakai jilbab sendiri. Masa Mama harus pakaikan kamu jilbab sampai 3 tahun.” Mama nyerocos di hadapanku, tangannya lihai menyematkan peniti kuning kecil di jilbab almamater putihku.
Aku hanya diam mendengarkan sambil berpikir. Selama ini memang aku tidak pernah memakai jilbab segi empat, sejak di TPA alias Taman Pendidikan Al-Qur’an aku hanya memakai bergo atau kerudung langsung pakai yang ada talinya.
Sekarang, aku harus memakai jilbab segi empat setiap hari ke sekolah. Aku sampai tidak berani untuk bercermin, wajahku pasti jelek sekali memakai jilbab ini. Hanya berani melirik beberapa saat. Dan aku pastikan wajahku culun karenanya.
Dengan bentuk wajah oval, jilbab lebar menjuntai, hiasan satu peniti kecil di baliknya. Ooh, tidak karuan.
Hari pertama masuk sekolah Tsanawiyah, langkahku lunglai. Tidak semangat sama sekali. Sampai di sekolah seperti orang bingung, tidak biasa melihat seisi sekolah yang anak perempuannya pakai penutup kepala semua. Rapih dan cantik. Aku? Ampuuunnn….
ZZZ
Mama dan Nenek benar-benar salah mendaftarkan aku ke sekolah Islam ini. Aku tidak mengerti apa-apa. Cara pakai jilbab, lingkungan, apalagi pelajarannya. Apa itu Fiqih, Al-Qur’an Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab. Bahasa Inggris saja aku bingungnya bukan main, bagaimana Bahasa Arab yang hurufnya sambung semua.
Mereka memang egois, orang dewasa maunya menang sendiri. Aku yang mau sekolah, kenapa hanya Mama dan Nenek yang diskusi. Tanpa aba-aba aku langsung di masukkan ke sekolah ninja ini.
Sebenarnya sebelum masuk Tsanawiyah, aku sempat diberikan pilihan oleh Nenek. Mau masuk Tsanawiyah atau masuk pesantren di Tasikmalaya. Ya jelas saja aku memilih masuk Tsanawiyah atau lebih tepatnya terpaksa memilih, daripada harus masuk pesantren dan terkurung di pondok. Itu lebih  parah namanya.
Mama dan Nenek tersenyum penuh kemenangan. Untuk anak sepertiku, yang awam dengan jilbab dan lebih sering telanjang kepala, jilbab itu luar biasa panasnya. Dari pagi sampai siang di sekolah, di dalam ruangan yang kipas angin pun tidak kelihatan di mana wujudnya.
Setiap hari kerjanya kipas-kipas di balik jilbab. Tangan kanan menulis, tangan kiri bertugas mendinginkan tubuh. Teman yang lain santai-santai saja dengan jilbabnya. Aku kenapa grasak-grusuk sendiri dengan jilbab ini?
ZZZ
Nenek memang salah satu sesepuh di kampungku. Beliau guru ngaji ibu-ibu di lingkungan rumah dan pimpinan Majlis Ta’lim. Maka dari itu, aku tidak dibiarkan masuk sekolah sembarangan. Lewat Tsanawiyah atau sekolah Islam yang setara dengan SMP ini, Nenek menginginkan aku bisa lebih kalem, pandai Agama dan jadi anak perempuan baik-baik.
Mungkin Nenek sudah terlalu muak dengan kelakuanku. Setiap hari bermain dengan anak lelaki, pakai kaos oblong dan celana pendek, main permainan anak lelaki. Saat anak perempuan seusiaku bermain congklak, lompat tali dan masak-masakan, aku lebih memilih bermain kelereng, main benteng dan memanjat pohon jambu air di pekarangan rumah Nenek.
Susah disuruh shalat, ngaji, sampai makan saja lupa kalau sudah ketemu teman-teman. Setiap adzan berkumandang, Nenek selalu teriak, “Annisa, shalat!” Suara Nenek bisa terdengar dari teras rumah sampai rumah temanku. Kalau tidak pulang juga setelah diteriaki, Nenek pasti menarik tanganku sambil mengomel memaksa pulang.
Mau disuruh shalat atau makan, caranya sama. Begitu juga saatnya mandi. Perlu tenaga extra untuk teriak dan menyeretku. Sampai-sampai tetanggaku pernah bilang, “Rebus aja punya anak begitu mah.” Sadis sekali tuh tetangga.
Hanya Nenek yang memperlakukan aku macam itu. Mama tidak pernah menarikku untuk pulang saat aku bermain. Karena Mama sibuk bekerja, bahkan terkadang tidak pulang. Bekerja sebagai penjahit kasur lantai membuat Mama tidak sempat mengurusku. Bukan karena penghasilannya yang besar lantas dituntut untuk fokus pada pekerjaan. Tapi justru karena penghasilan yang tidak seberapa, membuat Mama harus sering lembur mengumpulkan keping recehan.
Hampir 24 jam aku bersama Nenek. Makan masakan Nenek, tinggal di rumah Nenek, jajan dari uang Nenek, sekolah juga yang bayar Nenek. Semua Nenek. Penghasilan Mama tidak cukup untuk menyekolahkanku, hanya bisa menutupi bagian-bagian kecil dari kehidupan kami.
ZZZ
Sejak masuk Tsanawiyah yang mengharuskan aku naik kendaraan umum untuk sampai ke sekolah, aku jadi malas bermain. Lelah di perjalanan. Sampai rumah, makan dan langsung tidur siang. Aku anggap Nenek berhasil membuatku tidak bermain lagi, kecuali kalau temanku datang ke rumah untuk mengajakku bermain. Kalau tidak begitu, aku lebih baik nonton tv atau baca novel.
Ada lagi perubahanku sejak bergaul dengan teman-temanku di sekolah. Aku jadi senang memperhatikan orang-orang yang menggunakan jilbab lebar. Singgah secuil rasa iri di hati. Dia cantik sekali menggunakan jilbab yang lebarnya hingga melebihi pinggang. Aku ingin.
“Dirubah, Dik, sedikit-sedikit,” kata Kak Wulan menyemangatiku.
“Nanti kalau sudah biasa, pasti nyaman,” lanjutnya saat aku curhat padanya.
“Lagian, masih betah aja pake jilbab sarang tahu begitu!” Cetus Kak Wahab. Bibirku maju lima centi.
Jilbabku memang seperti saringan tahu kalau diperhatikan. Tipis. Bayangan rambutku sampai terlihat saat memakainya. Apalagi sejak bisa gaya pakai jilbab anak sekarang, yang dililit-lilit ke belakang kepala, makin berantakan saja.
“Tapi aku tidak bisa pakai jilbab seperti Kakak,” ujarku lemas.
“Nanti kita belajar ya. Kalau menurut Kakak, jilbab syar’i itu lebih mudah di pakai daripada jilbab-jilbab zaman sekarang. Yang harus dililit-lilit, dikasih aksesoris ini-itu. Jadi terkesan tabarruj atau malah memakai jilbab hanya untuk mencari perhatian dan kepopuleran. Jatuhnya tidak dianjurkan oleh agama.” Aku manggut-manggut mendengarkan.
“Tapi, Kak.” Suaraku masih terdengar ragu.
“Aku tidak punya jilbab lebar. Tidak punya uang untuk belinya.”
Kak Wulan tersenyum.
ZZZ
“Ini untuk kamu, Nisa,” Kak Erli, isteri Kak Wahab menghampiriku dengan membawa tumpukan baju dan jilbab.
“Kak Wulan bilang, kamu belum punya jilbab lebar. Ini Kakak ada beberapa, tidak baru sih tapi setidaknya masih layak untuk dipakai,” lanjutnya.
“Terima kasih, Kak.”
Aku menerimanya dengan tangan gemetar dan menahan tangis. Aku memang belum mampu membeli jilbab-jilbab ini. Jilbab yang aku kenakan untuk ke sekolah saja, milik Mama. Baju muslim, aku juga tidak memilikinya. Mungkin Kak Erli ingin melihatku seperti muslimah lain, memakai gamis dan jilbab lebar. Karena selama pertemuan kami, aku selalu menggunakan seragam sekolah atau kaos dan celana panjang.
Dalam hidup, aku tidak pernah memikirkan untuk membeli baju. Kalaupun ada, aku segera menepisnya. Aku lebih memilih untuk memikirkan hal lain dan menjalani hidup dengan apa yang aku punya. Aku juga pernah iri dengan apa yang teman-temanku miliki. Sering. Saat sepatu sekolahku berlubang bagian alasnya dan tidak langsung bisa membeli gantinya. Hatiku menangis.
ZZZ
Mata-mata itu seakan ingin menerkamku. Memandangiku sejak masuk gerbang tadi. Apa ada yang salah? Mungkin. Aku juga merasa. Tapi bukan sebuah kesalahan. Hanya sedikit berbeda dari biasanya.
Mata itu masih menakutkan. Tapi kali ini diiringi senyuman.
“Annisaaa..” Guru komputerku yang juga berjilbab lebar menghampiriku dengan senyuman mengembang indah. Aku ikut tersenyum ragu.
“Kamu cantik sekali. Lebih shalehah,” katanya di hadapanku.
“Biasa aja, Bu. Sama seperti kemarin-kemarin.”
Senyumnya masih kudapati di situ, di lengkungan bibir itu. Beliau juga salah satu yang menyemangatiku untuk berubah.
“Pakai jilbab itu memang panas. Panas sekali. Keringat mengalir di badan dan sangat tidak nyaman. Itu untuk yang tidak ikhlas menutup auratnya. Berjilbab hanya untuk mentaati peraturan sekolah, atau ikut-ikut tren. Tapi untuk yang ihklas hatinya karena tahu kalau jilbab itu adalah kewajiban yang diperintahkan Allah langsung, yang berjilbab itu akan merasa dengan jilbab dia akan terlindungi dari sengat matahari, dari hujan, dari gangguan orang-orang yang berniat jahat dan terasa sejuk, bukan hanya di badan tapi juga di hati.” Begitu nasihatnya dulu.
Hari pertamaku menggunakan jilbab lebar ini, berhasil membuatku berlinangan air mata lagi karena teringat pesan guruku. Entah, aku merasa lebih ringan dengan hidup ini. Apa mungkin karena ku tanggalkan kebiasaanku yang lama dan merubahnya jadi lebih syar’i? Yang pasti sekarang aku bahagia dengan hidayah dari hasil mengais ini.
“Akhirnya..” Kak Erli sepertinya sangat lega melihatku dengan jilbab putih pemberiannya tempo hari.
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia dakwah, perubahanku menjadi kebanggaan tersendiri untuknya. Bisa merubah anak tomboi ini menjadi perempuan yang lebih anggun dengan juntaian jilbabnya.
Dan yang paling membuatku melayang adalah senyuman dari orang-orang tercinta di rumah, Mama dan Nenek. Hanya senyum. Itu sudah mampu membuatku lebih kuat untuk bertahan dan istiqomah dengan hidayah ini. Insya Allah..
ZZZ

(Terbit dalam Buku Antologi Bersama "Namaku Annisa" Penerbit Asrifa)

 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar